Lelaki Harimau

Ditulis: di Kereta Solo-Semarang, 27 Mei 2018

Hampir sepuluh menit saya tercenung memikirkan topik apa yang ingin saya tulis di perjalanan kereta ini. Nyaris kusut. Sejatinya sudah sejam sejak saya naik kereta, tak ada ide di kepala. Kemarin saat pulang juga begitu. Buntu. Padahal saya punya quickwin: satu perjalanan, satu tulisan. Tak ada yang bisa saya tulis, meski sebenarnya ada, tapi saya sulit mengawalinya, saya malah menundanya. Persis dulu saat mau menyusun tesis. Sering menundanya. Begitulah. Faktanya, kita kerap kali menunda-nunda pekerjaan karena sebuah alasan yang kita buat-buat yang sebenarnya bernama kemalasan. 

Karenanya Rasul SAW mengajarkan satu doa:
"Allohumma innii a’uudzubika minal hammi wal hazani wa a’uudzubika minal ’ajzi walkasali.."
"Ya Allah ya Tuhan kami, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu daripada keluh kesah dan dukacita, aku berlindung kepada-Mu dari lemah kemauan dan kemalasan..."

Padahal, sudah lama saya berpikir untuk memulai menulis novel. Nyicil maksudnya. Konstruksi cerita sudah di kepala. Tentang lingkungan birokrasi, warna warninya, tentu ada tokoh sentral dengan segala konfliknya. Setiap orang berjuang untuk pertarungannya sendiri. Kira-kira begitu, satu pesan yang saya tangkap dari film Wonder Woman, pagi tadi selepas Dhuha.

Saya selalu berpikir menunggu waktu yang tepat, ketika punya waktu yang melimpah. Entahlah. Sehingga ini bertolak belakang dengan keinginan saya atas novel itu. Baru beberapa penggalan cerita yang saya tulis dan nanti akan saya sambungkan menjadi satu novel. Memang tidak mudah. Apalagi buat pemula seperti saya. Mungkin bukan soal waktu, yang lebih pasti karena rasa malas. Tapi bukan saya yang pemalas. Ada Pak Ogah di tubuh saya.

Begitulah yang terjadi di wiken ini. Saya memilih untuk membaca. Mungkin saya kehabisan bahan bakar. Saya butuh nutrisi, inspirasi. Minggu lalu saya datang ke Perpustakaan Kementerian, tanpa tujuan buku yang akan saya pinjam. Lihat saja nanti sesuai pilihan hati. Saya lihat deretan buku yang ada di rak-rak. Eh, ada buku yang di dalamnya ada tulisan saya. Rasanya bangga, keren, apalagi kalau itu buku saya sendiri. Batin saya berkata begitu sejenak sebelum akhirnya saya menemukan novel yang sudah lama saya cari: Lelaki Harimau, karya Eka Kurniawan.

"Bukan aku, " kata Margio tenang tanpa dosa. "Ada harimau di dalam tubuhku." Itu adalah salah satu alinea dalam novel itu. Sebuah jawaban saat Margio ditanya apakah ia membunuh seorang Anwar Sadat.

Novel yang menurut saya tidak biasa, dengan alur cerita yang juga tidak biasa dan dengan pilihan kalimat yang juga tidak biasa. Sehingga 2 novelnya yang sudah saya baca, saya menilai luar biasa. "Cantik itu Luka" dan "Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas". Yang dengan novel-novelnya itu saya merelakan diri untuk dipengaruhi atas gaya tulisan saya sebagaimana saya rela dipengaruhi oleh gaya tulisan Pak Dahlan Iskan.

Dan bagaimanapun malam ini saya belum ingin menulis, saya berhasrat merampungkan membaca Lelaki Harimau, atas dasar dalil ini: "Dan barangsiapa malas menulis, bersegeralah untuk membaca" (Hadits Palsu).
Tabik.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi