Bumi Manusia

Ditulis: 23 Pebruari 2019

Saya sedang hanyut. Dalam cerita Minke. Di Bumi Manusia itu. Roman yang ditulis Pramoedya. Satu buku dari tetralogi.

Sejatinya saya agak malu. Novel setenar itu, baru sekarang membacanya. Saya menunggu gratisan. Akhirnya kesampaian. Novel itu ada di perpustakaan kantor. Pertama kali nemu di rak buku, bak ketemu seseorang yang dirindukan. Girang.

Buku itu masih ditangan saya. Setia menemani saya. Menjelang tidur malam saya membacanya. Siapa tahu bisa mimpi ketemu Annelies. Yang cantik gemilang itu. Pun saya membacanya di perjalanan maupun di kesunyian. Di sela-sela kegiatan. Sudah setengah buku saya baca. Makin lama makin penasaran. Dengan ceritanya. Saya menjadi tahu gambaran kehidupan orang pribumi dan Eropa di Hindia Belanda.

Saya tidak bermaksud mengulasnya. Biarlah Anda membacanya sendiri. Mendapat pemahamannya sendiri. Mendefinisikan sendiri. Karena saya tidak jago untuk membuat definisi. Apalagi mendefinisikan tentang seseorang. Menilai seseorang. Lalu membuat kesimpulan. Hanya dari sekadar ucapan atau kabar burung tanpa ada pendalaman.

"Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput," kata Nyai Ontosoroh. Mama-nya Annelies. Seorang tokoh dalam novel itu.

Maka, saya kadang heran. Betapa orang bisa menilai bahkan menjudge seseorang dari informasi permukaan. Yang tidak mendalam. Tanpa melihat konteks.

Bukan berarti saya tidak mampu. Saya pernah melakukan. Dalam beberapa penugasan. Untuk membuat penilaian. Tentang kompetensi seseorang. Yang metodenya saya belajar di dua kesempatan. Kompetensi berdasarkan pengalaman. Saya akan bertanya. Lalu mendengarkan jawaban. Mencatatnya. Kadang dengan pertanyaan yang lebih mendalam. Lantas, saya akan menilainya. Kompetensi yang saya gali itu berada di level berapa. Awal Desember tahun lalu, saya melakukan itu. Di Jogja. Seminggu disana. Untuk penerimaan CPNS.

Bagaimanapun sudah beberapa novel yang saya baca. Yang setelah khatam, seolah saya merasa bisa membuat novel. Dan bersemangat akan menulisnya. Sayang, hanya sebatas niat. Tanpa aksi, hingga sekarang. Pun belum jelas mau bikin novel tentang apa.

Pernah terpikir novel tentang birokrasi. Intrik politik dalam birokrasi. Atau perjalanan hidup. Tentang seseorang yang saya banyak tahu kisahnya. Tapi, itu hanya wacana. Sekedar wacana. Tetap wacana. Dengan alasan, belum punya waktu. Yang itu menjadi permakluman. Untuk tidak merasa bersalah. Yaa... kadang sudah jadi wataknya, manusia selalu mencari kambing hitam. Karena pada dasarnya, tidak semua orang mau untuk disalahkan. Apalagi disalah-salahkan.

Acapkali kita mendengar: "jangan sampai kita yang disalahkan." Karena katanya akan menjadi malu. Harga diri turun. Tidak ingin dianggap sebagai biang masalah. Itulah manusia, yang selalu ingin benar. Yang terkadang untuk menjadi benar justru menyalahkan yang lain. Untuk merasa baik, dengan memburuk-burukkan pihak lain. Kenapa begitu? Karena politik. Dan iri dengki. Dimana saja. Pun dalam cerita novel itu.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi