Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?
Transformasi kelembagaan
Kementerian Keuangan tengah berlangsung. Ada arah dan target yang telah
ditetapkan. Untuk mencapainya diawali dengan langkah-langkah yang disebut
inisiatif strategis. Salah satunya adalah Sistem MPN G2 atau e-billing.
Inisiatif ini diusung oleh Ditjen Perbendaharaan dan menjadi program unggulan.
Dengan MPN G2, setoran atas penerimaan negara dapat dilakukan kapan saja dan
dimana saja. Ada banyak kemudahan yang disediakan pemerintah bagi wajib pajak
dan masyarakat untuk menunaikan kewajibannya.
Dalam hitungan beberapa
bulan lagi, insyaallah MPN G2 secara full dilaksanakan. Jelas, hal ini akan
berdampak kepada unit vertikal Kemenkeu, khususnya instansi vertikal DJPBN
yaitu KPPN. Beberapa pekerjaan yang ada di KPPN daerah akan hilang atau
berpindah ke KPPN Khusus Penerimaan di Jakarta. Oleh karena dengan MPN G2, penatausahaan
penerimaan negara dilakukan secara tersentral di pusat.
Di beberapa KPPN dampak
ini sudah mulai terasa. Ada satu seksi di KPPN yaitu seksi bank yang mulai
lengang dengan pekerjaan terkait penatausahaan penerimaan negara. Ada
pertanyaan, apa yang akan dilakukan oleh seksi bank setelah MPN G2 secara
penuh? Saya kira, diskusi tentang itu, sudah banyak dilakukan di daerah.
Ada beberapa poin yang
barangkali bisa kita pertimbangkan.
Pertama,
salah satu amanat UU nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, menyatakan
Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara fungsional
atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya kepada Kuasa Bendahara
Umum Negara (BUN). Dalam hal ini Kuasa BUN adalah KPPN. Hal ini telah
diejawantahkan dengan kewajiban bendahara menyampaikan LPJ kepada KPPN.
Kedepan, barangkali
KPPN tidak hanya sekedar menerima dan menverifikasi LPJ. Ada yang bisa lebih
dilakukan oleh KPPN yaitu melakukan pembinaan kepada bendahara terkait
tugas-tugas kebendaharaan. Kalau di DJP ada satu jabatan yang disebut AR, saya
membayangkan hal yang sama dimana di KPPN terdapat AR yang menangani beberapa
bendahara. Terlebih lagi dengan rencana sertifikasi bendahara. Peneguhan kompetensi
yang dipersyaratkan dalam sertifikasi bendahara dapat dilakukan oleh KPPN.
Konsep AR ini bisa dikembangkan menuju yang lebih komprehensif tidak terbatas
pada urusan kebendaharaan tetapi lebih lanjut kepada pembinaan penyusunan
laporan keuangan dan hal-hal lain terkait perencanaan kas dan pengelolaan APBN.
Kedua,
menurut saya ada yang terlewat pada masa peralihan kewenangan ordonatur dari
KPPN ke PPSPM di setiap satker. Maksud saya adalah ilmu ordonatur yang dulu
menjadi senjata KPPN dalam memverifikasi SPM belum sepenuhnya diajarkan ke
satker. Contoh sederhana: ilmu bagaimana memeriksa KGB, penggunaan mata
anggaran, pengenaan pajak atas pembayaran UP, dsb. Baru-baru ini, saya terlibat
dalam satu diskusi karena ada pertanyaan dari satker: apakah boleh pegawai
honorer (non PNS) dibayarkan lembur dari akun 51? Saya kira itu menjadi contoh
hal-hal yang terkait tugas-tugas ordonatur yang masih sering ditanyakan kepada
KPPN.
Memang, sudah ada seksi
MSKI di KPPN yang saya kira hal tersebut menjadi ranah tugasnya. Tetapi, dalam
tataran pelaksanaannya, saya belum melihat efektivitasnya, karena kadang masih
sebatas sosialisasi terkait peraturan terkini. Ilmu ordonatur yang dulu itu
belum terwariskan dengan optimal. Saya membayangkan ada kelas ordonatur di
setiap KPPN. Saya juga berharap pihak kantor pusat, bisa menerbitkan buku
panduan ordonatur yang dapat digunakan KPPN untuk menyelenggarakan kelas
tersebut. Saya tahu sudah ada modul penyuluh perbendaharaan, tapi saya kira agar
lebih disempurnakan.
Ketiga,
untuk pelaksanaan MPN G2 secara penuh, saya kira tidak bisa kita lepas begitu
saja. Seolah-olah kemudian tidak ada pengawasan dan monitoring kepada bank
persepsi. Masih ada ruang untuk itu. Apabila ada permasalahan antara wajib
pajak, wajib setor atau wajib bayar dengan bank persepsi, kemana mereka akan
mengadu? Nah, saya kira KPPN dapat mengambil peran itu yaitu sebagai pengawas,
pemonitor sekaligus sebagai helpdesk
MPN G2.
Keempat,
memaksa setiap WP punya user akun sendiri untuk aplikasi billing, saya kira kurang
bijaksana, meski itu sebenarnya untuk kerahasiaan mereka. Tapi, siapakah yang peduli
dengan itu? Saya kira baru mereka wajib pajak kelas atas. Karena itu, proses
pembuatan billing agar lebih disederhanakan. WP tak perlu harus punya akun
email dan user password aplikasi billing. Selain itu, ada masa transisi yang
perlu dijaga. Saat mana sistem eksisting ditutup, saya membayangkan ada tempat
dimana WP dengan mudah membuat kode billing. Karena itu, saya mengusulkan agar KPPN
dalam beberapa waktu diberi user sapu
jagad, sehingga dapat membantu WP membuatkan kode billing dengan mudah.
Sebagaimana hal itu bisa dilakukan oleh Kantor Pajak melalui jaringan intranet
mereka.
Kelima,
saya kira implementasi akuntansi berbasis akrual tidak terbatas pada penyusunan
laporan keuangan pemerintah pusat tetapi juga pada laporan keuangan pemerintah
daerah. Meski agak terlambat, tetapi peran ini bisa dimainkan oleh KPPN
sehingga dapat menjadi mitra strategis bagi pemda setempat dalam implementasi
akuntansi berbasis akrual. Karena itu, pendidikan dan pelatihan perlu disiapkan
bagi seluruh pegawai KPPN agar mampu menguasai hard competency tersebut.
Keenam,
bersambung (insyaallah)…. :)