Strategi muslihat
-(Sabtu, 9 Agustus 2025)-
Karena setiap orang tidak mampu membaca pikiran orang lain, yang bisa dilakukan hanyalah menebak, menduga, atau berprasangka. Namun, semua itu tidak pernah bisa dijamin kebenarannya. Kesadaran bahwa pikiran dan rencana kita tersembunyi dari orang lain membuat manusia terdorong menyusun strategi. Terkadang strategi ini digunakan untuk tujuan positif, tetapi tidak jarang pula menjadi alat untuk mengalahkan atau menjatuhkan pihak lain.
Di sinilah sering muncul permainan tipu muslihat — sebuah pertarungan tak terlihat, di mana masing-masing pihak berusaha mengambil keuntungan. Kadang, permainan ini begitu rumit sehingga hanya bisa terungkap setelah semua peristiwa selesai, dan motif para pelaku terkuak.
Kita bisa melihat gambaran ini dengan jelas melalui film-film. Dalam The Thomas Crown Affair, misalnya, seorang wanita bernama Catherine Banning, seorang penyelidik asuransi, berusaha mendekati Thomas Crown untuk memanipulasinya demi mengungkap lokasi lukisan yang ia curi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: Catherine terjebak dalam permainan Thomas. Hubungan mereka berkembang menjadi percintaan, dan batas antara pemburu dan buruan menjadi kabur.
Fenomena serupa terjadi dalam film The Good Liar. Seorang pria tua bernama Roy Courtnay berusaha mendekati Betty untuk menipunya dan menguasai seluruh hartanya. Ia menyusun rencana licik, meyakini dirinya adalah sang pengendali permainan. Namun, pada akhirnya terungkap bahwa Betty-lah yang sebenarnya memancing Roy sejak awal. Ia memanipulasi situasi hingga Roy terjebak, sebagai bagian dari balas dendam atas perbuatan buruk Roy di masa lalu.
Kedua cerita fiksi ini mencerminkan kenyataan bahwa manusia kerap menggunakan strategi — baik yang terang-terangan maupun terselubung — untuk mencapai tujuan. Namun, perlu dibedakan antara strategi dan tipu muslihat. Strategi bisa menjadi jalan menuju win-win solution, di mana semua pihak memperoleh manfaat. Tipu muslihat, sebaliknya, cenderung menghasilkan situasi menang-kalah, di mana kebahagiaan satu pihak dibangun di atas kekalahan pihak lain.
Sayangnya, dalam praktik kehidupan, kondisi menang-menang sering kali sulit terwujud. Ego, harga diri, dan kepentingan pribadi kerap menghalangi. Kita terlalu sering melihat kebanggaan yang lahir dari mengalahkan orang lain, bukan dari bekerja sama. Sejarah peradaban manusia pun mencatat tak terhitung banyaknya perang, perebutan wilayah, dan upaya saling menjatuhkan — bukti bahwa sifat selfish telah mengakar sejak zaman nenek moyang.
Pada titik ini, kita seakan berhadapan dengan tembok yang tinggi dan kokoh: watak dasar manusia yang sukar diubah. Harapan yang tersisa hanyalah adanya “keajaiban” yang mampu menumbuhkan kesadaran kolektif untuk meninggalkan pola pikir menang-kalah, dan menggantinya dengan pencarian harmoni sejati.