Hakikat merdeka

-(Minggu, 17 Agustus 2025)-

Hari ini, 80 tahun lalu, para proklamator memproklamasikan kemerdekaan bangsa ini dari penjajahan. Sejak itu hingga kini, kita masih kerap dengan lantang meneriakkan kata “merdeka”.

Sebuah kata yang barangkali menjadi titik tolak bagi sebuah bangsa dan negara untuk berdaulat, membangun, serta menyejahterakan rakyatnya di atas harga diri bangsa sendiri. Sebuah kata yang menandakan bahwa satu bangsa tak lagi menderita karena ditindas oleh bangsa lain.

Namun, barangkali secara lebih mendasar, kita bisa bertanya: apa sebenarnya hakikat merdeka itu? Apakah hanya semata-mata berarti secara fisik kita tak lagi berada di bawah kekuasaan pihak lain? Tak lagi ditindas oleh keinginan bangsa lain? Dalam arti ini, merdeka dipahami lebih sebagai relasi eksternal: kita tidak diperalat atau berada di bawah kontrol pihak lain.

Hanya saja, jika dilihat lebih dalam, acapkali kita justru masih dijajah oleh keinginan kita sendiri. Ditindas oleh hawa nafsu kita sendiri untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hati nurani dan akal sehat. Setiap hari, misalnya, dengan rakusnya kita memenuhi tubuh dengan berbagai bentuk makanan kaya karbohidrat tanpa peduli keseimbangan gizi lainnya.

Pun, hampir setiap hari, kita masih dijajah oleh pikiran-pikiran negatif: kecemasan tentang masa depan, kenangan buruk masa lalu, padahal saat ini kita sedang baik-baik saja.

Kenyataannya, kita juga kerap “dipaksa” menjalani rutinitas yang sama, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan. Laksana Sisifus dalam mitologi Yunani, yang terus mendorong batu ke atas bukit hanya untuk menyaksikannya menggelinding kembali, lalu mengulanginya tanpa henti.

Apakah semua itu bisa disebut merdeka?

Barangkali akan semakin bijak bila kita mulai melihat kembali hakikat merdeka. Sebab kemerdekaan sejati tak cukup hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari belenggu diri sendiri: dari nafsu yang tak terkendali, dari kecemasan yang mengikat, dan dari rutinitas yang menumpulkan kesadaran.

Namun, kita pun tak bisa menafikan kenyataan bahwa dalam kehidupan bersama, kebebasan manusia tetap dibatasi oleh batasan-batasan tertentu. Batasan itu bukanlah bentuk penindasan, melainkan prasyarat agar hidup tetap tertib, aman, dan damai. Bagaimanapun, ada hak-hak orang lain yang juga membatasi hak dan kebebasan kita.

Maka, pertanyaan yang perlu kita renungkan: apakah kita benar-benar telah merdeka? Atau jangan-jangan, hingga kini masih ada beban, hasrat, dan pikiran yang membuat kita belum sepenuhnya bebas?

Delapan puluh tahun setelah Proklamasi, merdeka seharusnya tidak hanya menjadi slogan atau simbol seremonial, tetapi juga sebuah perjalanan batin. Kemerdekaan sejati adalah kemampuan untuk menguasai diri, menjaga akal sehat, dan tetap bertanggung jawab terhadap orang lain. Jika bangsa ini ingin terus maju, maka setiap individu perlu memerdekakan diri—tidak hanya dari belenggu luar, tetapi juga dari penjajahan dalam.

Dirgahayu Indonesia!

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

Pengembangan Organisasi

"Penajaman" Treasury Pada KPPN