Menundukan nafsu
-(Senin, 4 Agustus 2025)-
Dalam sebuah film berjudul Southpaw (2015), kisah tragis seorang petinju bernama Billy Hope menggambarkan betapa rapuhnya hidup ketika nafsu dan ego tidak dikendalikan. Billy adalah seorang juara tinju dunia yang dikenal dengan gaya bertarungnya yang agresif dan emosional. Di balik sorotan gemerlap ring tinju, ia adalah seorang suami dan ayah yang sangat mencintai keluarganya.
Namun, suatu hari, dalam sebuah acara publik, seorang petinju muda yang sombong memprovokasi Billy dengan menghina istri dan anaknya. Tak mampu menahan amarah dan harga dirinya yang terusik, Billy terprovokasi dan mencoba menghajarnya meskipun sang istri sudah memintanya untuk menahan diri. Keributan pun tak terelakkan. Dalam kekacauan itu, salah seorang pengawal lawannya membawa senjata api dan tanpa sengaja menembak sang istri, hingga tewas di tempat.
Kejadian tersebut menjadi titik balik yang menghancurkan hidup Billy. Ia larut dalam kesedihan dan mulai hidup dalam mabuk-mabukan. Tak hanya kehilangan orang yang paling ia cintai, tetapi ia juga kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Perlahan, kariernya hancur, kekayaannya habis, dan yang paling menyakitkan, ia kehilangan hak asuh atas anak semata wayangnya.
Kisah Billy Hope bukan hanya fiksi. Banyak kisah nyata menunjukkan bagaimana tragedi kehidupan seringkali dipicu oleh ketidakmampuan manusia dalam mengendalikan amarah, ego, dan hawa nafsu. Manusia yang menyerah pada dorongan emosionalnya akan mudah tergelincir ke dalam kehancuran, baik secara pribadi, sosial, maupun spiritual.
Hal ini sejatinya telah dijelaskan dalam literatur-literatur keislaman klasik. Salah satunya dalam kitab Durratun Nasihin, yang menggambarkan sebuah dialog mendalam antara Allah SWT dengan dua makhluk-Nya: Akal dan Nafsu.
Allah SWT bertanya kepada Akal:
“Siapa kamu?”
Akal menjawab: “Aku adalah makhluk-Mu.”
Allah bertanya lagi:
“Siapa Aku?”
Akal menjawab: “Engkau adalah Tuhanku.”
Dialog ini menunjukkan bahwa akal adalah makhluk yang secara fitrah mengenal dan tunduk kepada Allah. Akal menjadi alat utama bagi manusia untuk memahami kebenaran, membedakan baik dan buruk, serta membimbing jiwa menuju keselamatan.
Namun, ketika Allah SWT bertanya kepada Nafsu:
“Siapa kamu?”
Nafsu menjawab: “Aku adalah aku, dan Engkau adalah Engkau.”
Artinya, nafsu adalah makhluk yang keras kepala dan enggan tunduk kepada kehendak Ilahi. Maka Allah menyiksanya selama 100 tahun di neraka. Tapi ketika ditanya kembali, jawabannya tetap sama. Nafsu tetap tidak berubah.
Lalu Allah menyiksanya lagi selama 100 tahun dengan kelaparan. Setelah itu, barulah Nafsu menjawab:
“Aku adalah makhluk-Mu yang hina, dan Engkau adalah Tuhanku Yang Maha Mulia.”
Dialog ini sarat makna. Ia mengajarkan bahwa nafsu tidak akan tunduk kecuali melalui proses pendidikan dan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), salah satunya dengan kelaparan atau puasa. Inilah sebabnya puasa disebut sebagai ibadah yang paling efektif dalam menundukkan hawa nafsu. Melalui puasa, manusia belajar menahan diri, mengendalikan keinginan, dan menyeimbangkan antara akal dan nafsu.
Maka, tragedi dalam film Southpaw atau kisah nyata lain semestinya menjadi cermin reflektif bagi kita semua: betapa pentingnya mendidik jiwa, menjaga akal tetap sehat, dan menundukkan nafsu yang liar. Karena sedikit saja kita lengah, nafsu bisa menjadi awal dari kehancuran hidup.
Sebaliknya, ketika akal kita menjadi pemimpin dan nafsu ditundukkan, maka kedamaian, keselamatan, dan kemuliaan akan mengiringi langkah hidup kita.