Paradoks hidup
-(Senin, 18 Agustus 2025)-
Pada akhirnya, hidup adalah paradoks. Barangkali hal itu muncul karena adanya berbagai perspektif yang berbeda, atau memang sudah menjadi sifat alamiah kehidupan itu sendiri.
Sebagai contoh, ketika kita mencintai seseorang dengan sangat. Cinta adalah sesuatu yang indah: kita berusaha menjaga, membahagiakan, dan melindungi orang yang kita kasihi. Namun, pada satu kesempatan lain, justru timbul rasa protektif yang berlebihan. Alih-alih membahagiakan, sikap itu malah membuat orang yang kita cintai merasa tersiksa dan terkurung dari pergaulan luar. Maka, cinta yang seharusnya membebaskan bisa berubah menjadi belenggu.
Contoh lain adalah dalam membentuk karakter disiplin. Kita membiasakan diri dengan rutinitas, pada jam yang sama setiap harinya. Kebiasaan ini berhasil membentuk konsistensi dan kedisiplinan. Namun, pada saat yang sama, kita juga menjadi seperti Sisifus—tokoh mitologi Yunani yang dikutuk untuk mendorong batu ke puncak bukit hanya untuk melihatnya jatuh kembali, berulang tanpa akhir. Rutinitas yang semula membangun kedisiplinan justru dapat terasa membosankan, absurd, bahkan melelahkan.
Hal yang serupa juga terjadi ketika kita berusaha berpikir dengan akal sehat, menggunakan nalar rasional kita. Tentu, hal ini adalah sesuatu yang baik. Tetapi semakin kita mengandalkan akal, semakin kita sampai pada satu titik di mana akal tidak lagi mampu menjangkaunya. Ada batas-batas di mana akal buntu ketika berhadapan dengan pertanyaan besar tentang asal-usul, makna, atau tujuan akhir kehidupan. Artinya, akal sehat sekalipun memiliki keterbatasan.
Begitu pula dengan sikap berani. Berani adalah sifat ksatria, sesuatu yang diinginkan oleh banyak orang. Kita tak gentar menghadapi siapa pun; di tempat sepi tidak takut, di hutan belantara pun tetap gagah berani. Namun, keberanian yang berlebihan bisa membawa manusia pada kemusnahan, karena menjadikannya kurang berhati-hati. Apa pun ia hadapi, tanpa perhitungan. Dan ketika kekuatannya tidak sebanding dengan lawannya, keberanian itu bisa berakhir tragis.
Begitulah, masih ada banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa hidup memang sarat paradoks. Dari sini kita bisa melihat pola yang sama: setiap kebaikan, jika dijalankan secara berlebihan, akan berbalik menjadi kontradiksi.
Maka, agar paradoks dapat diminimalkan, salah satu caranya adalah dengan menempuh jalan tengah, yakni keseimbangan. Ajaran agama menekankan perlunya keseimbangan dalam hidup. Aristoteles mengenalkan konsep the golden mean—kebajikan berada di antara dua ekstrem: kekurangan dan kelebihan.
Oleh karena itu, tidak heran bila pesan-pesan kebijaksanaan selalu menekankan perlunya keseimbangan, alias berada di tengah-tengah. Sebab pada akhirnya, apa pun yang berlebihan hanya akan melahirkan paradoks.