Ego & uang
-(Selasa, 12 Agustus 2025)-
Sebuah film Bollywood berjudul Ugly memotret sisi gelap manusia dengan tajam dan tanpa belas kasihan. Ceritanya sederhana, namun menohok: seorang anak kecil hilang di pasar. Alih-alih semua orang bersatu mencari dan menyelamatkannya, justru kesempatan itu dimanfaatkan untuk mengejar kepentingan pribadi. Ada yang dilandasi dendam masa lalu, ada pula yang semata-mata dibutakan oleh keinginan akan uang.
Sepanjang cerita, penonton diseret masuk ke pusaran kebohongan dan tipu daya. Mereka saling mengelabui, memanipulasi, bahkan tega mengorbankan saudara atau sahabat demi tujuan sendiri. Hingga akhirnya, tibalah adegan yang mematahkan hati: sang anak ditemukan dalam keadaan terikat, tak lagi bernyawa.
Meski itu hanyalah sebuah film, konflik dan perilaku yang digambarkan mencerminkan potret nyata kehidupan sehari-hari. Kita sering mendengar berita tentang orang yang menipu, memeras, dan mengkhianati sesamanya—semuanya demi uang. Inilah dua wajah gelap yang patut kita waspadai: egoisme manusia dan petaka uang. Saat keduanya bergandengan, ia menjadi racun yang mematikan.
Di banyak masyarakat, uang menjadi salah satu motivasi paling kuat. Ia melintasi batas negara, budaya, dan agama. Dengan uang, manusia dapat memenuhi kebutuhan—bahkan mewujudkan semua ambisi. Namun, pada sisi kelamnya, uang dapat membuat manusia gelap mata. Ditambah dorongan ego, obsesi, dan ambisi, ia mampu menenggelamkan akal sehat. Pada titik itu, manusia bukan lagi digerakkan oleh nurani, melainkan oleh keserakahan.
Ketika uang dan ego bersekutu, sering kali muncullah tindakan yang merugikan orang lain, bahkan melanggar hukum. Di sinilah peran hukum menjadi vital: memberi batas, mengatur norma, dan menjaga etika agar manusia tidak saling merugikan atau menghancurkan.
Namun, hukum saja tak cukup. Ada medan yang tak bisa dijangkau undang-undang: hati dan pikiran manusia. Mengendalikan sisi gelap itu hanya mungkin jika manusia mampu dikuasai oleh akal sehatnya. Salah satu jalan paling efektif menuju ke sana adalah pendidikan yang berkualitas—pendidikan yang tidak sekadar mengajarkan hitungan dan teori, tetapi yang menanamkan empati, integritas, dan kebijaksanaan.
Tanpa itu, kisah kelam seperti Ugly akan terus berulang—bukan di layar lebar, tetapi di halaman depan berita kita.