Dendam manusia

-(Rabu, 6 Agustus 2025)-

Ada banyak film yang menceritakan tentang aksi balas dendam seseorang terhadap pihak lain yang dulu pernah melukainya—baik luka fisik maupun luka batin—di masa lalu. Motifnya bisa bermacam-macam: karena dirinya sendiri yang menjadi korban, atau karena anggota keluarga yang disakiti, dihina, bahkan dihilangkan.

Betapa banyaknya film-film bertema balas dendam ini membuat saya bertanya-tanya: apakah memang kita, manusia, menyenangi aksi-aksi semacam itu? Apakah ada bagian dari diri kita yang merasa puas ketika melihat sebuah pembalasan terjadi atas kejahatan atau ketidakadilan di masa lalu?

Namun, mungkin bukan aksi balas dendam itu sendiri yang memuaskan, melainkan ide di baliknya: penegakan keadilan. Barangkali, yang sesungguhnya menggugah hati kita adalah ketika keadilan akhirnya ditegakkan, ketika yang tertindas mendapatkan kembali martabatnya, ketika pelaku kejahatan mendapatkan ganjarannya.

Manusia, sejak lahir, membawa fitrah: sebuah naluri untuk membedakan benar dan salah. Ketika keadilan dilanggar, jiwa kita resah. Sebaliknya, ketika keadilan ditegakkan, ada kelegaan yang dalam, bahkan ketika proses menuju keadilan itu penuh kekerasan dan penderitaan. Inilah barangkali mengapa kita merasa “puas” menonton film-film bertema pembalasan dendam. Bukan karena kita menikmati kekerasan, tetapi karena kita mendambakan keadilan.

Jika ditarik ke dunia nyata, apa yang kita lihat hari ini—dalam konflik, kekuasaan, bahkan dalam politik—mungkin juga mencerminkan tema yang sama: kekalahan yang menimbulkan dendam, pengkhianatan yang menyulut hasrat pembalasan.

Seolah-olah dunia nyata ini tengah memainkan sebuah film panjang, dengan episode-episode penuh ketegangan dan konflik batin, di mana aktor-aktornya terus berganti, atau kadang masih yang sama, dan ceritanya pun tetap sama: dendam, keadilan, dan pencarian makna di tengah luka.

Dalam banyak film populer—seperti Pirates of the Caribbean—kita melihat bagaimana pengkhianatan menjadi titik awal konflik. Dari situ, lahirlah dendam, perebutan kekuasaan, dan perjalanan panjang menuju pengampunan (atau kehancuran). Unsur pengkhianatan memberi kedalaman pada cerita karena ia menyentuh luka manusia yang paling dalam: dikhianati oleh orang yang dipercaya.

Maka, rasanya tak ada tontonan yang lebih epik daripada sebuah narasi tentang kekalahan, pengkhianatan, dan balas dendam. Kita menyaksikannya dengan tegang, kadang dengan semangat, namun sering kali juga dengan getir: mengelus dada, merenung, dan bersedih. Bahwa di zaman yang katanya modern ini, manusia tetap saja belum bisa lepas dari hasrat purba itu—hasrat untuk membalas, untuk menang, untuk merasa benar.

Di sinilah letak refleksi terdalamnya: film tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga cermin jiwa kita. Apakah kita benar-benar menginginkan keadilan, atau hanya ingin menyaksikan musuh kita menderita?

Kita perlu bertanya, bukan hanya kepada film, tapi juga kepada diri sendiri: apakah kita sedang menonton, atau justru sedang memainkan peran dalam cerita yang sama?

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

Pengembangan Organisasi

"Penajaman" Treasury Pada KPPN