Teladan & Komitmen

Ditulis: 16 Pebruari 2019

Orang hidup itu memang butuh teladan. Contoh yang bagus. Nabi Muhammad adalah sebaik-baiknya panutan. Uswatun hasanah. Itu dalam soal agama dan perilaku. Bahkan dalam semua sisi kehidupan.

Pun dalam menulis. Butuh contoh. Kiblat saya Pak DI. Saya rutin membaca tulisannya. Sebagaimana pernah saya tulis, saya merelakan diri untuk dipengaruhinya. Khususnya dalam menulis.

Saya juga ingin mencontoh beliau. Soal komitmen. Pak DI punya blog yang sudah setahun dan dia menulis setiap hari. Itu komitmennya. Saya juga pengen punya komitmen. Tapi belum sanggup setiap hari. Seminggu sekali dulu. Saya tulis di kereta. Dengan smartphone. Tentang ini saya patut berbangga. Bisa sama dengan Pak DI. Yang nyaris semua tulisannya itu diketik di HP.

Dari semua tulisan Pak DI yang di blog itu kemudian dikumpulkan dan dibukukan. Seperti buku-buku beliau sebelumnya. Yang sebagian besar merupakan kumpulan tulisannya di koran. Ada juga buku yang merupakan kumpulan catatan beliau saat menjadi Direktur PLN.

Bagaimanapun saya ingin mencontek itu. Pada saatnya nanti tulisan-tulisan saya yang di FB ini, akan saya kumpulkan dan semoga menjadi buku.

Saya juga punya target. Di setiap jabatan yang saya emban, ada pengalaman yang bisa saya tulis. Termasuk gagasan, inovasi, tindakan dan mungkin juga capaian. Berharap hal itu bisa menjadi bagian dari knowledge management (KM).

Barangkali saya sudah lakukan itu. Membuat KM. Di jabatan sebelum sekarang. Mungkin itu tepatnya KM untuk sebuah proyek implementasi. Di blog ini: www.mpng2.wordpress.com. Yang sudah berhenti saya tulisi.

Bagaimana dengan anda? Kadang saya membayangkan. Diantara kita ini ada yang menuliskan pengalaman kerja dan kehidupannya termasuk interaksinya. Misalnya ada yang menerbitkan buku: "Pada Suatu Ketika di Negeri Senja Kaimana". Yang sekarang sudah ada layanan KPPN filialnya. Yang disana ada Teluk Triton yang mirip Raja Ampat itu.

Sejatinya KM telah menjadi arahan Menkeu. Dua tahun lalu.Tapi sekarang mungkin sudah dilupakan. Tidak juga. Buktinya saya belum lupa.

Saya masih ingat betul. Dengan arahan Menkeu itu lantas digagas tindak lanjutnya. Yaitu agar setiap ada penerbitan peraturan atau kebijakan dibuat KMnya. Gampangnya asbabun nuzulnya termasuk cerita di balik layarnya. Tapi memang itu butuh waktu dan tenaga. Yang bisa menyita waktu kerja. Dan butuh komitmen. Saya kira itu yang paling utama. Dalam setiap penyelesaian target, yang penting adalah komitmen. Kesungguhan. Untuk merampungkan. Dengan sebaik-baiknya dan secepatnya. Cara dan metodologi mungkin nomor sekian. Tak perlu diributkan. Kecuali sudah ada SOPnya.

Namun harus diakui, tidak setiap orang punya komitmen. Mungkin punya, tapi dengan kadar yang rendah. Bahkan merasa tidak terikat komitmen. Dan itu memang enak. Nyaman. Tidak ada pressure. Tidak stres. Tapi lantas untuk apa hidup?

Kalimat retoris itu saya pinjam dari tulisan Pak DI. Maka, selain menulis setiap minggu itu, saya juga punya komitmen lain.

Yaitu membaca buku. Juga novel. Sudah beberapa novel yang saya baca. Dari beberapa pengarang. Tentu tidak sekedar membaca. Saya belajar gaya tulisannya. Saya bersyukur ada perpustakaan kantor. Yang belakangan ini melakukan pengadaan buku. Diantaranya Tetraloginya Pramoedya. Yang bisa saya pinjam dan dibaca di kereta.

Pun dengan kalimat retoris Pak DI itu. Saya kira itu menjadi sebuah ungkapan. Quote. Saya juga ingin belajar menyusun quote. Yang bagus. Yang bermakna. Mungkin juga menohok. Bisa juga ada kesan canda. Malah menertawakan diri sendiri. Seperti ini:

"Betapa epiknya menjadi tua dengan kenangan menjadi seorang ayah yang bekerja jauh dari keluarga, dengan rasa sepi yang menerkam, dan kehidupan yang seperti terus menunggu, yang kemudian berakhir dengan pensiun yang entah berapa."

Itu sesungguhnya bukan quote. Tapi kalimat baper. Yang barangkali kalimat itu akan membuat orang tersinggung. Yang saya kira masih banyak orang yang mudah tersinggung dan sakit hati. Padahal Steven R. Covey telah mengajari kita. Dengan 7 habitnya. Salah satunya proaktif. Lawannya reaktif. Orang yang reaktif, mudah sekali tersinggung. Gampang terluka dengan kata-kata.

Padahal tulis Steven R. Covey, ada jarak antara stimulus dan respon. Dengan jarak itu kita bisa memilih respon kita. Tidak otomatis. Mau tersinggung atau tidak adalah pilihan diri kita sendiri. Mau sakit hati atau tidak juga pilihan. Tidak harus setiap ada caci maki, langsung sakit hati. Yang masih begini, itulah orang reaktif. Jadi, kalau ada yang ngomongin buruk di belakang kita, tak perlu sakit hati. Tersanjunglah, diri kita ada dalam pikirannya.

Tentu, tak hanya komitmen. Tapi juga realisasinya. Kerja nyatanya. Soal ini saya masih menyimpan memori. Pesan seseorang yang saya hormati. Kira-kira begini: "....….., tapi saya butuh koki yang cepat saji." Sengaja tak lengkap saya tulisi. Biar bisa anda isi sendiri.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi