Perbendaharaan Menyapa pada Hari Kejepit

Ditulis: 5 Pebruari 2019

Bagaimanapun saya mengucapkan terima kasih kepada Gus Dur. Yang telah mewariskan Imlek sebagai libur. Itu sebagian legacy beliau. Setiap presiden meninggalkan warisannya. Monas dan Istiqlal adalah diantara warisan Bung Karno. Dengan warisan-warisan itu, kemudian mereka terus dikenang. Terus hidup dalam ingatan bangsa ini. Lalu, hal baik apa yang akan Anda wariskan di tempat pengabdian Anda?

Sudah tentu saya mesti berterima kasih kepada masyarakat Tionghoa. Yang mempunyai Imlek. Meski saya tak merayakannya, saya turut menikmati liburannya. Malah, ada hari kejepit yang bila kita bekerja di hari itu rasanya kok sakit. Ya namanya juga kejepit. Tentu akan sakit, meski ada kejepit yang enak. Maksud saya, sebagian kita kemudian mengambil cuti di hari kejepit itu. Yang lalu itu menjadi sebuah liburan yang lumayan panjang. Asyik bukan?

Saya diantara yang mengambil cuti sehari itu. Meski ternyata, saya sendiri yang cuti. Istri tetap masuk sekolah, anak-anak juga masuk sekolah.

Ternak teri. Anter anak, anter istri. Begitulah. Pagi itu saya antar mereka ke sekolah. Lantas, saya ke Samsat untuk urusan pajak kendaraan dan ganti plat nomor. Hampir setiap tahun saya urus sendiri. Sehingga saya tahu bagaimana perkembangan layanan Samsat di kota ini yang semakin baik dan cepat.

Siang hari itu kemudian saya ke sekolah istri. Untuk menjemputnya. Saya sengaja datang lebih awal dari jam pulang sekolah untuk sekalian silaturahmi dengan rekan-rekan guru lainnya.

Saya merasa bahagia dan bangga dengan perkembangan sekolah ini. Yang semakin besar gedungnya. Yang semakin banyak muridnya. Siapa yang berjasa? Setiap orang punya peran. Termasuk istri saya. Untuk kemajuan madrasah ini.

Tak dinyana. Tiba-tiba, istri meminta saya untuk mengajar di kelasnya. Niat dan tujuannya baik. Untuk menginspirasi anak anak. Saya terima permintaannya. Kalau saya tolak, kuatir dia balas dendam tidak mau memenuhi permintaan saya. Tak usah diteruskan. Anda sudah tahu maksud saya...

Maka, siang itu, saya mendadak Perbendaharaan Menyapa. Salah satu program Hari Bakti Perbendaharaan yang kami inisiasi sejak tahun 2017. Yaitu sebuah aktivitas untuk mengenalkan Kemenkeu khususnya Ditjen Perbendaharaan kepada masyarakat, terutama kepada pelajar dan mahasiswa.

Tentu ada satu materi yang sering saya ulang-ulang di setiap kesempatan. Tentang peran DJPb yang saya umpamakan sebuah jantung. Sebuah organ vital yang berfungsi memompa atau menyalurkan darah ke seluruh tubuh. Begitulah peran DJPb, laksana jantung yang menyalurkan APBN kepada masyarakat.

Bagaimanapun saya juga menawarkan mimpi baru kepada anak-anak kelas 5A itu. Sebuah profesi PNS Kemenkeu. Dengan segala kelebihannya. Saya juga bercerita pengalaman saya bekerja. Tentang berkeliling Nusantara. Hal yang menarik minat mereka. Hal yang bisa menginspirasi mereka untuk menyusun cita-citanya. Tentang kuliah di STAN. Hal yang mendorong mereka untuk terus rajin belajar dan berdoa.

Dan sudah barang tentu, bukan hal yang hoax. Seperti tuduhan itu kepada Kemenkeu. Tempo hari itu.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi