Nostalgia Singa

Ditulis: 25 Agustus 2019

Setiap terbang naik singa, ada romantisme tersendiri. Selalu teringat satu periode penugasan yang membawa saya setiap dua pekan, pulang pergi terbang dengan singa ini.

Pukul 17.00 teng, saya letakkan tangan di atas mesin absen itu dan bergegas melaju dengan revo biru. Sejam kemudian saya tiba di bandara. Kadang bila jadwal pesawat agak malam, saya mampir di warung dengan menu bebek goreng dan sambel hitam yang lumayan enak itu.

Ada banyak kenangan yang digoreskan singa pada benak saya. Selain beberapa kali dapat snack, saya pernah dapat bonus nasi dan uang 300k. Walau dampaknya istri dan anak-anak terlantar menunggu lama kedatangan saya di Jogja, padahal mereka sudah tidak sabar ingin jalan-jalan ke Malioboro.

Pernah pula kami seluruh penumpang sudah duduk manis di pesawat dan sudah bersiap di landasan pacu, tetapi tiba-tiba ada pengumuman bahwa terdapat kerusakan rem dan terpaksa kami harus ganti pesawat lainnya. Alhamdulillah, rem rusak itu sudah diketahui sebelum terbang. Entah bagaimana kalau waktu itu terbang dan pas landing remnya rusak dan blong. Mungkin bila itu terjadi, Superman atau Hulk akan datang menolong kami. Atau justru Spiderman yang hadir menolong selain karena dia berusaha mencari teman setelah dikeluarkan dari MCU. Mungkin dia bisa bergabung dengan grupnya Gundala, dkk.

Hal lain yang saya ingat adalah saya selalu minta kursi dekat pintu darurat, di kursi A di deret kedua yang sandaran kursinya masih bisa digeser ke belakang. Selain karena di depan kursi itu kosong, tanpa kursi, sehingga kaki panjang saya bisa leluasa. Jika tak dapat kursi itu, saya lebih memilih di kursi lorong. Mulanya saya berpikir dengan kursi lorong, saya lebih mudah ke toilet atau turun pesawat. Belakangan saya merasa, pilihan saya itu ditunggangi niat yang sebenarnya tidak buruk-buruk amat. Ada pemandangan eksotis ketika pramugari yang berdiri disamping saya berusaha merapikan barang-barang di dalam kompartemen atas. Ketika dalam posisi itu, saya tak lagi berani melihat ke atas. Saya memilih istighfar atas pilihan kursi lorong yang membawa pada pemandangan itu. Meski berikut-berikutnya saya tetap memilih kursi lorong. Mungkin ini yang dinamakan kapok lombok. Istighfar tapi tetap mengulangi. Atau sebenarnya justru itu pilihan yang baik, karena membawa saya untuk terus istighfar. Sebagaimana ketika kita naik bus jurusan sby-jogja itu, dimana doa dan dzikir terapal sepanjang perjalanan.

Maka, saya tak setuju, jika terjadi kejahatan pada wanita, malah yang disalahkan mereka. Karena katanya disebabkan tidak memakai hijab atau pergi atau bekerja tanpa didampingi muhrimnya. Menurut saya, pada dasarnya lebih disebabkan karena pikiran dan ulah pria yang tidak bisa mengendalikan diri.

Begitulah. Untuk itu, wahai kaum wanita, maafkan kami kaum pria. Setidaknya bagi saya.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi