Rumah

Ditulis: 11 September 2018

Malam 1 Suro kemarin, kami kumpul-kumpul. Orang tua beserta anak-anak. Menggelar tikar di jalan kompleks. Yang berisi hanya 8 rumah. Kompleks kluster pertama di kota itu.

Serba spontan. Siang hari itu ada yang usul di grup WA. Ide kumpul-kumpul. Lalu ada yang merespon. Setuju. Jadilah acara itu.

Tentu acara utama adalah duduk bareng, silaturahim. Ngobrol akrab ngalor ngidul. Tentang apa saja. Diselingi bakar-bakar bakso dan sosis. Disemangati pisang dan kacang godog. Pisang goreng dan juga kopi. Kami juga memutar musik. Awalnya Via Valen lalu Didi Kempot. Lanjut Nissa Syaban. Terakhir Kenny G.

Anak-anak ikut-ikutan bakar-bakar. Tentu turut semangat memakan apa yang dibakar. Mereka bermain bersama. Tertawa. Gembira. Sejenak melupakan setan gepeng. Meski tak lama, mereka kembali main setan gepeng. Ya sudahlah. Saya nyaris menyerah. Jangankan anak-anak, yang dewasa, orang tua juga kecanduan setan gepeng. Di rumah, di kantor, kedai, saat rapat, pengajian, khotbah Jumat, mereka asyik sendiri dengan HP. Khusyu dengan medsos. Itulah faktanya. Tantangan sekarang. Yang juga menjadi kesempatan dan peluang.

Begitulah, malam itu kami saling guyonan, bercanda dan tertawa. Saat asyik ngobrol, saya menyeletuk: "gak terasa anak-anak kita sudah besar-besar." Yang artinya, kami yang orang tua ini sudah makin tua. Tambah usianya.

Rasanya belum lama kami tinggal di kompleks itu. Tapi kalau dihitung, ternyata sudah lama juga. Kira-kira tahun 2005, delapan rumah itu lengkap dihuni. Anak-anak kami masih kecil-kecil. Masih balita. Rata-rata kami baru memiliki satu anak.

Saya tahu komplek itu, awalnya juga tak sengaja. Waktu itu sewa rumah kontrakan hampir habis. Saya dan istri berkeliling mencari rumah kontrakan lain. Ada orang duduk-duduk di depan rumahnya, lalu kami bertanya. Apakah ada rumah yang dikontrakkan sekitar sini. Bapak itu menjawab, kalau rumah kontrakan tidak ada, tapi ada rumah yang dijual. Disebelah situ. Katanya sambil menunjukkan arah.

Lantas kami datangi rumah itu. Ternyata sebuah kompleks perumahan. Masih ada tukang yang bekerja. Kami bertanya. Dikasih brosur dan nomor telepon.
Kemudian kami lihat-lihat lingkungannya. Ada kampung disekitar kompleks. Tepatnya, kompleks itu berada di tengah kampung. Empat rumah saling berhadapan dengan jalan kompleks di tengahnya. Dikelilingi pagar berbentuk U dengan satu gerbang kompleks.

Tak jauh dari kompleks, kurang dari 100 meter, ada mesjid. Kami senang sekali waktu itu. Saya selalu ingat pesan orang tua, agar kalau punya rumah jangan jauh-jauh dari mesjid. Apalagi saat itu pas adzan ashar, banyak warga yang berdatangan ke mesjid.

Tak perlu berpikir lama, kami memutuskan untuk membeli rumah di kompleks itu. Masih tersisa dua rumah. Kami pilih yang paling murah.

Begitulah. Bertahun tahun kemudian kami tinggal di kompleks itu. Tumbuh kembang bersama. Dalam suka dan duka. Hingga tak terasa, kami mulai menua.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi