Jalan Jihad

Ditulis: di atas Kereta Solo-Semarang, 20 Mei 2018

Biasanya saya membaca novel atau cerpen atau buku-buku manajemen dan motivasi seperti 7 habits atau bukunya Rhenald Kasali dll. Wiken ini saya membuka dan membaca kembali koleksi buku-buku agama. Menyesuaikan momennya. Ramadhan.

Saya buka buku "Halal dan Haram dalam Islam" karya Yusuf Qardhawi. Saya lihat daftar isi dan mulai mencari bab tentang bekerja. Sudah lama saya "agak gimana" dengan sikap beberapa orang yang menurut saya tidak konsisten antara keyakinan dan tindakannya soal bekerja. Bahwa bekerja adalah ibadah, semua sepakat. Saya mencoba mengamati dan menarik hipotesa: masih banyak diantara kita yang sejatinya belum yakin dengan dalil itu. Mengapa? Disaat jam efektif bekerja, masih ada yang berasyik asyik melakukan ritual ibadah yang bukan wajib, seolah menganggap apa yang dia lakukan ketika bekerja bukan bagian dari ibadah yang mendapat pahala. Tindakannya seolah meneguhkan anggapan bahwa bekerja itu sekedar urusan dunia. Padahal diawal meyakini bekerja itu ibadah. Tentu berlebihan dalam bekerja hingga melupakan kewajiban agama juga bukan hal yang dibenarkan sebagaimana makan jika berlebihan menjadi haram, sebagaimana juga beribadah sepanjang malam hingga melupakan keluarga juga tidak dibolehkan.

Apalagi dari bab bekerja di buku itu, saya menarik kesimpulan: hukum bekerja adalah wajib.

Lalu, saya ambil dari rak, buku "Wawasan Al Qur'an" karya Prof Quraish Shihab. Tokoh yang saya hormati, saya kagumi dan saya percaya dalam pemahamannya tentang tafsir Al Qur'an. Saya tahu kontroversi tentang beliau yang dihembuskan oleh beberapa kalangan. Saya sedih dengan tuduhan mereka.

Kembali saya lihat daftar isi dan mulai mencari bab yang menarik hati. Saya lihat bab tentang jihad. Saya baca bab itu. Di bagian awal dijelaskan tentang akar kata jihad. Kemudian dijelaskan tafsir tentang ayat-ayat tentang jihad termasuk hadits Nabi. Sampailah pada kesimpulan, seperti alinea di bawah ini.

"Demikian terlihat bahwa jihad beraneka ragam: memberantas kebodohan, kemiskinan dan penyakit adalah jihad yang tidak kurang pentingnya daripada mengangkat senjata. Ilmuwan berjihad dengan memanfaatkan ilmunya, karyawan bekerja dengan karya yang baik, guru dengan pendidikannya yang sempurna, pemimpin dengan keadilannya, pengusaha dengan kejujurannya, dst. Dahulu, ketika kemerdekaan belum diraih, jihad mengakibatkan terenggutnya jiwa, hilangnya harta benda, dan terurainya kesedihan dan air mata. Kini jihad harus membuahkan terpeliharanya jiwa, terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab, melebarnya senyum dan terhapusnya air mata serta berkembangnya harta benda."

Jelas sekali dan adem di hati. Sayangnya, ada sebagian orang yang memaknai berlebihan tentang jihad ini. Malah cenderung keliru. Sampai kemudian terjadi teror bom belakangan ini dan juga beberapa waktu yang lalu. Ada yang beranggapan bahwa yang mereka lakukan adalah jihad.

Mengapa bisa muncul pemahaman begitu? Karena mereka hanya membaca satu buku. Yang ditulis oleh kelompoknya. Mereka dilarang membaca buku-buku lain yang mereka anggap sebagai bagian dari ghazwul fikri, perang pemikiran.

Maka, saya sepakat dengan penjelasan seorang Kyai, mubaligh ternama, ketika ada yang bertanya, apakah bomber di dekat Sarinah itu mati di jalan jihad. Beliau menjawab, bukan. Dia mati bukan di jalan jihad tapi mati di Jalan Thamrin.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi