Ketika Kehabisan Ide
Ditulis: 14 April 2019
Belakangan ini saya seperti kehabisan ide untuk menulis. Padahal ada banyak bahan yang bisa saya tulis. Termasuk saya sudah berhasil merampungkan beberapa novel. 4 tetralogi Buru karya Pramoedya. Saya baca di setiap perjalanan atau menjelang tidur malam. Dan beberapa novel lainnya. Tapi seperti buntu saja otak saya.
Bahkan setelah membaca buku Creative Writing karya AS Laksana pun tetap tak membuat pikiran saya terbuka. Masih mentok, hingga saya memutuskan untuk menulis ini. Sebuah tulisan yang saya tidak tahu apa tujuan dan gambaran akhirnya. Saya hanya berusaha menulis uneg-uneg tentang kebuntuan saya dalam menulis. Siapa tahu tiba-tiba dapat ilham tentang topik yang mungkin menarik.
Sejatinya saya tengah menerapkan resep dalam buku AS Laksana itu. Tetap menulis saat tak punya ide. Gagasan akan datang sendiri. Tangan dan otak punya cara kerja yang misterius dan luar biasa. Tangan akan bergerak menuliskan ceritanya. Asalkan, kita menulis tidak sambil mengedit.
Sampai paragraf ini, bola lampu belum juga menyala di kepala saya. Masih juga gelap apa yang akan jadi ide utama tulisan ini. Lalu terlintas bayangan ide untuk menulis tentang program literasi yang telah dimulai dan sudah berjalan hampir dua tahun ini.
Saya sangat percaya bahwa program ini pasti akan ada manfaatnya. Baik bagi organisasi maupun bagi pribadi pegawai itu sendiri.
Memang, bagi sebagian orang menulis bukanlah hal yang mudah. Dan tak gampang menumbuhkan kesadaran untuk menulis. Ibarat pengajaran sholat yang mesti dipaksakan bagi anak usia 7 tahun, maka program menulis ini kemudian kita wajibkan dengan menjadi salah satu IKU setiap pejabat eselon 3 dan 4.
Pada akhirnya, semua pejabat itu berhasil mengirimkan satu tulisan setiap triwulan. Untuk tulisan yang dimuat di media, baik lokal maupun nasional, baik cetak maupun online, akan langsung memperoleh nilai yang bagus, minimal 90. Tidak sedikit yang kemudian mendapatkan nilai 100 karena tulisannya dimuat di media. Bagi tim penilai juga menjadi sebuah keringanan jika banyak tulisan yang dimuat di media. Tim penilai akan berkurang PR nya untuk membaca satu per satu tulisan. Dengan telah dimuatnya tulisan itu di media, menjadi mudah untuk memberikan nilai. Memang, sejak awal program ini digagas agar para pejabat percaya diri menulis di media. Ada banyak materi terkait pengelolaan APBN yang bisa dan perlu diketahui oleh masyarakat. Apalagi selama ini data data itu belum secara optimal dianalisis dan dituangkan dalam sebuah tulisan atau artikel populer. Selain juga mengenai pelaksanaan tugas institusi yang perlu diketahui, capaian prestasinya dan bagaimana organisasi ini terus tumbuh menuju kesempurnaan melalui reformasi birokrasi.
Secara langsung maupun tidak langsung, program menulis ini juga berfaedah bagi pegawai baik dari peningkatan kompetensi menulis maupun citra diri pegawai tersebut. Selain akan dikenal sebagai penulis, tentu nama pegawai itu akan mulai diketahui masyarakat. Jika ia terus konsisten dengan rajin menulis dan membahas isu isu terkini yang dikaitkan dengan seluk beluk organisasi, akan sangat mungkin nama pegawai yang menulis itu menjadi populer. Yang itu akan menjadi bekal baginya dalam peningkatan karir.
Cita-cita untuk mempromote pejabat atau pegawai ke tingkat nasional dan untuk dipersiapkan dalam kepemimpinan nasional bisa ditempuh melalui jalur tulis menulis ini. Tidak sedikit tokoh-tokoh nasional, pengamat bermula dari tulisannya di harian nasional. Dari tulisan itu kemudian berlanjut ke buku dan media televisi.
Maka, bila pada awal program itu ada banyak resistensi dan grundelan, barangkali bisa dimaklumi. Bahkan sumpah serapah sempat terlontar di grup angkatan. Termasuk plesetan nama program yang intinya sebuah ketidaknyamanan atas program ini. Tentu dengan berbagai alasan dan pembenaran bahwa mereka sudah sangat sibuk dengan tugas tugas kesehariannya.
Pada kenyataannya, mereka yang tadinya mengeluh itu, toh berhasil juga membuat karya tulis dan saya kira juga memperoleh nilai yang bagus.