Jalan Pintas
Ditulis: 7 Juni 2019
Di dusun kami, lebaran tidak cukup 1-2 hari. Bisa seminggu. Pertanda selesainya lebaran dan acara silaturahmi adalah lebaran ketupat. Tapi itu tidak juga berlaku di dusun kami yang ada 2 pesantren itu. Akan masih banyak orang dengan rombongan mobil dan bus datang silaturahim ke para Kyai di Ponpes itu. Begitulah diantara tradisi Nahdliyyin.
Sore itu, ba'da ashar, kami kembali berkeliling silaturahim ke rumah sanak famili. Kami menyebutnya dengan istilah "sejarah." Mungkin berasal dari kata ziarah.
Setelah selesai silaturahim sesi sore itu, dari rumah terakhir kami hendak kembali ke rumah orang tua kami.
Karena bila pulang lewat jalan yang tadi kami lalui agak jauh, saya berniat lewat jalan pintas melalui jalan setapak di kebonan.
"Kita lewat situ aja ya," saya bilang begitu ke istri dan 2 Ode sambil telunjuk saya mengarah ke jalan setapak itu.
"Nanti, ada nyamuk Bapak," kata Ode.
Saya terbahak.
"Ah, Kakak kemenyek"
Saya tertawa karena itulah kebonan yang dulu bagian dari tempat saya bermain. Tempat saya dan teman-teman "luru" melinjo, katak, dan umbi umbian lainnya untuk kemudian kami godok dengan bekas kaleng susu. Kebonan yang dulu saya dan teman-teman bermain adu karet, kelereng, mencari gangsir (sejenis jangkrik) dan laron. Pun juga kebonan dimana saya digigitin nyamuk, hingga merasakan gatal, bentol-bentol demi semua jenis makanan itu dan permainan kami.
Sekarang tak ada lagi anak-anak seperti kami dulu itu.