Titip doa
-(Minggu, 1 Juni 2025)-
Pada saat berada di Masjidil Haram, saya menemukan dua pengalaman menarik yang berkaitan dengan seseorang yang sedang berdoa. Di tangannya terdapat sebuah buku dan tulisan. Saya sempat sepintas melihat isi tulisan tersebut, dan ternyata berisi doa-doa. Dari teks yang saya tangkap, dugaan saya adalah itu merupakan doa-doa titipan dari orang-orang terdekat, sanak kerabat, atau mungkin teman-temannya. Artinya, jika saya boleh menduga, buku yang dipegang itu adalah catatan titipan doa. Dari bahasa yang sempat saya baca, sepertinya itu menggunakan bahasa Melayu. Barangkali jamaah ini berasal dari Malaysia.
Titip doa adalah hal yang sering dilakukan oleh masyarakat kita, manakala ada seseorang yang berangkat haji. Hanya saja, kadang pesan titip doa itu disampaikan secara lisan pada saat bertemu. Doa yang dititipkan biasanya adalah agar nanti bisa segera dipanggil untuk datang ke Baitullah.
“Tolong nanti, nama saya dipanggil ya,” kira-kira begitu isi pesannya. Padahal, barangkali ada doa yang bisa lebih spesifik terkait hajat dan keinginan yang ingin dicapai.
Secara ilmu pengembangan pribadi dan dalam psikologi, menuliskan doa yang lebih spesifik bisa dianggap sebagai cara menulis visi. Dari visi itu, tentu orang tersebut sudah tahu jalan yang akan ia tempuh untuk mencapainya. Dalam terminologi Stephen Covey, ini disebut sebagai memulai dari akhir dalam pikiran, yang merupakan bagian dari tujuh kebiasaan yang efektif.
Ketika saya berada di teras Hijir Ismail, saya juga mendapati seseorang menaruh potongan kertas yang sudah dilaminating. Sepintas saya melihat itu adalah sebuah doa. Barangkali ia juga dititipi doa oleh seseorang untuk dibacakan dan ditaruh di Hijir Ismail. Dalam hal ini, kita tidak mempermasalahkan keyakinan orang, tapi saya melihat bahwa menuliskan doa adalah sebuah upaya afirmasi bagi diri sendiri, untuk menguatkan tekad, keinginan, dan langkah dalam menggapai cita-cita tersebut.
Maka, barangkali ketika ada kerabat atau teman yang berangkat ke Tanah Suci, titip doa tidak sekadar disampaikan sebagai basa-basi dan secara lisan semata. Ada baiknya apa yang dilakukan oleh jamaah yang saya temui itu bisa ditiru—yaitu menuliskan doa yang ingin dibacakan di Tanah Suci.
Dengan teknologi saat ini, doa tidak harus ditulis di kertas. Doa bisa dituliskan melalui pesan WhatsApp, yang nanti akan dibaca oleh orang yang berada di Tanah Suci, terutama saat momen paling mustajab seperti wukuf di Arafah.
Begitulah. Menuliskan doa adalah bentuk visualisasi spiritual. Ia bukan sekadar permohonan kepada Tuhan, tetapi juga cara manusia menyusun niat, mengafirmasi harapan, dan memperjelas arah hidupnya. Dengan menuliskannya, seseorang sebenarnya sedang memperkuat koneksi antara batin, pikiran, dan tindakan. Maka, menitipkan doa—dan terlebih lagi menuliskannya—bukan hanya ibadah secara vertikal, tetapi juga langkah awal yang konkret dalam perjalanan mewujudkan impian.