Gelang karet

-(Kamis, 29 Mei 2025)-

Mengandalkan ingatan dalam menghitung jumlah putaran saat tawaf atau sa’i adalah hal yang tidak disarankan. Terlebih lagi bagi yang sudah berusia senior—seperti saya.

Karenanya, saya menggunakan alat bantu sederhana: gelang karet. Jumlahnya tujuh, sesuai dengan jumlah putaran tawaf. Semuanya saya kenakan di tangan kiri. Setiap kali selesai satu putaran, saya pindahkan satu gelang ke tangan kanan. Begitu seterusnya.

Ada juga jamaah yang menggunakan tasbih tawaf, yaitu tasbih dengan tujuh butir. Atau, ada pula yang memakai alat hitung digital. Ketiganya saya bawa, tapi saya pribadi lebih memilih gelang karet—praktis dan mudah dipantau.

Saya telah beberapa kali melaksanakan tawaf di pelataran (kita sebut saja lantai dasar) kemudian satu kali di lantai 1, dan satu kali lagi di lantai 2 atau rooftop. Masing-masing lantai memiliki tantangannya sendiri. Dan saya kira, bagi Anda yang berkesempatan untuk umrah, tidak ada salahnya mencoba semuanya—demikian pula dengan sa’i, yang juga tersedia di tiga lantai.

Beberapa kali saya shalat di Masjidil Haram, sambil memperhatikan bagaimana manajemen diterapkan di masjid yang luar biasa ini. Salah satu yang saya alami, misalnya, terjadi ketika akan menunaikan shalat Dhuhur. Saat memasuki gedung baru Masjidil Haram—yang sangat-sangat megah itu—jamaah diarahkan terlebih dahulu untuk mengisi lantai paling atas. Ada petugas yang khusus mengarahkan arus massa ke ruangan tersebut.

Di pagi hari, pada jam tertentu, area rooftop dikosongkan dari jamaah. Jamaah yang masih berada di sana akan diarahkan untuk segera turun.

Ketika hendak memasuki pelataran, jamaah juga dicek terlebih dahulu apakah mengenakan pakaian ihram atau tidak. Bagi yang tidak mengenakan ihram, akan diarahkan ke lantai 1 atau 2.

Kenyataannya, Masjidil Haram mempekerjakan sangat banyak petugas—mulai dari polisi dan tentara yang siaga 24 jam untuk memantau dan mengatur pergerakan jamaah. Ada pula petugas kebersihan yang tanpa henti membersihkan sampah, mengisi ulang air zamzam, dan bertugas di WC maupun sepanjang jalan dari terminal ke pintu masuk masjid.

Selain itu, ada pula petugas lain yang mengenakan rompi bertuliskan ask me—tanda bahwa mereka siap membantu jamaah yang memerlukan informasi atau arahan.

Masjid seluas ini, dengan jumlah jamaah yang bisa mencapai ribuan bahkan jutaan orang, harus dikelola dengan profesional dan tegas. Misalnya, jika ada jamaah yang shalat di tempat yang tidak semestinya, maka ia akan diminta pindah.

Dari pengalaman ini, saya melihat ada pelajaran manajemen yang sangat menarik. Bagaimana mengatur ketertiban massa yang bagaikan lautan manusia itu, tanpa menimbulkan kekacauan, adalah tantangan besar. Dan hal itu dilakukan dengan begitu rapi, sistematis, dan penuh profesionalisme—karena ini juga menyangkut keselamatan banyak orang.

Begitulah, betapa ibadah yang tampak sederhana pun membutuhkan sistem dan keteraturan, apalagi ketika dilakukan secara berjamaah dalam jumlah besar. Tawaf, sa’i, shalat—semuanya bukan hanya bentuk penghambaan, tetapi juga pengingat bahwa hidup kita di dunia ini pun butuh keteraturan, kesabaran, dan kerendahan hati untuk mengikuti aturan demi kebaikan bersama. Dan bahwa manajemen yang baik tidak hanya menyelamatkan raga, tapi juga menenangkan jiwa.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi