Salat Jumat
-(Sabtu, 31 Mei 2025)-
Jumat kemarin, kami keluar dari hotel sekitar pukul 07.00 lebih. Saat itu, tidak ada lagi bus layanan jamaah yang beroperasi menuju Masjidil Haram. Sebenarnya, kami sudah mengetahui adanya pengumuman bahwa setiap hari Jumat, layanan bus berhenti beroperasi mulai pukul 07.00 dan akan kembali aktif pada pukul 14.00.
Saya melihat banyak jamaah yang memilih berjalan kaki menuju masjid. Kami sendiri memutuskan untuk naik taksi dengan tarif 10 riyal. Taksi hanya bisa mengantar sampai ke bawah jembatan layang, kira-kira 500 meter dari pelataran Masjidil Haram. Artinya, kami tetap harus berjalan kaki menuju masjid. Dan begitulah kenyataannya. Karena begitu luasnya kawasan masjid, setiap jamaah dituntut untuk memiliki kaki yang kuat dan terbiasa berjalan jauh. Memang ada layanan kursi roda, namun tentu saja berbayar.
Kami sepakat untuk masuk gedung baru Masjidil Haram yang megah itu. Hampir seluruh dinding dan lantainya berlapiskan marmer. Bahkan rak Al-Qur’an pun terbuat dari marmer. Rak untuk sandal dan sepatu juga berbahan marmer, menambah kesan mewah dan anggun pada bangunan ini.
Namun, dari gedung baru ini jamaah tidak dapat melihat Ka’bah. Mengenai hal ini, pernah seseorang bercerita kepada saya bahwa ada orang yang sudah sampai ke Masjidil Haram, tetapi tidak melihat Ka’bah sama sekali. Barangkali ia hanya berada di area gedung baru ini tanpa menyadari posisinya terhadap pusat kiblat.
Kami tiba di masjid sekitar pukul 09.00. Saat itu, sudah banyak jamaah yang datang untuk menunaikan salat Jumat. Artinya, masih ada waktu sekitar tiga jam menunggu sebelum waktu salat tiba. Itu dilakukan agar mendapat tempat di dalam masjid. Saya kira selama 3 jam itu barangkali para jamaah memang meniatkan diri untuk beriktikaf, mengisinya dengan salat duha, zikir, dan membaca Al-Qur’an. Beberapa orang terlihat berbaring, mungkin karena kelelahan atau mengantuk berat.
Di dalam masjid terdapat bagian-bagian yang digelar karpet. Bagi jamaah yang tidak mendapatkan tempat berkarpet, bisa menggunakan lantai marmer sebagai alas salat. Di bagian ini, sebaiknya menggunakan sajadah atau alas pribadi, karena ternyata alas kaki tidak harus dilepas saat memasuki masjid. Artinya, di sekitar jamaah akan tampak bungkusan berisi sandal atau sepatu.
Sesekali saya berdiri untuk melenturkan tubuh yang telah lama duduk. Selain rak marmer untuk Al-Qur’an, tersedia pula kran air zamzam lengkap dengan gelas plastik untuk jamaah yang haus. Kelebihan lain dari gedung baru ini adalah tersedianya tempat wudu yang relatif dekat, tidak seperti di bangunan lama yang harus berjalan cukup jauh.
Pelaksanaan salat Jumat di Masjidil Haram diawali dengan dua azan. Setelah azan kedua, khotbah Jumat langsung disampaikan oleh khatib. Tidak ada peringatan khusus agar diam selama khutbah, juga sebelum azan tidak ada pengumuman mengenai siapa muazin, khatib, atau imam. Khotbah disampaikan dalam bahasa Arab dan tidak berlangsung terlalu lama. Pada rakaat pertama, setelah Al-Fatihah, imam membaca Surat At-Tin, dan pada rakaat kedua, Surat Al-Quraisy.
Demikianlah pengalaman kami salat Jumat di gedung baru Masjidil Haram. Sambil menunggu, saya menyempatkan diri mengamati kemegahan bangunan yang luar biasa ini.
Begitulah. Perjalanan spiritual itu tak selalu mesti ditempuh dengan kemudahan. Kadang kita harus berjalan kaki, menunggu lama, atau bahkan salat tanpa melihat Ka’bah secara langsung. Namun justru di situlah makna ibadah: kesungguhan, pengorbanan, dan ketulusan.