Buku kecil
-(Selasa, 13 Mei 2025)-
Saya temukan kembali buku kecil itu. Benar-benar kecil. Kalau dimasukkan ke saku baju kiri atas, masih tersisa ruang 1–2 cm. Sudah kelihatan lusuh. Di cover warna putih itu, ada dua kata yang dulu saya tulis tangan dengan spidol merah: judul buku itu dan inisial nama saya.
Cover putih itu sebenarnya adalah cover pengganti—alias tambalan—karena cover aslinya sudah rusak. Seingat saya, cover aslinya berwarna hijau. Supaya lembar-lembar kertas isi buku itu tetap kuat dan tidak lepas satu sama lain, saya tambahkan tiga staples: atas, tengah, dan bawah.
Sebelum saya pasang cover putih dari kertas karton itu, rupanya lembar-lembar kertas isi buku sudah saya satukan dulu dengan stiker disket zaman dulu. Kertas stiker disket itu tentu ada perekatnya. Dulu dipakai untuk menuliskan keterangan atau catatan tentang isi disket. Di stiker yang saya lekatkan di buku itu, ada tulisan: IBM Format.
Apa itu disket? Bagi generasi Boomer, X, dan Y, barangkali sudah paham. Tapi bagi generasi milenial, Gen Z, dan yang lebih muda, bisa jadi perlu tanya ke Google—dan mungkin perlu lihat fotonya dulu.
Soal pengetahuan yang dibatasi zaman ini, barangkali perlu disadari, terutama oleh generasi saya ke atas. Kadang, kita merasa semua orang tahu apa yang kita tahu. Seperti tentang disket itu. Padahal, ternyata tidak semua tahu—karena memang dibatasi oleh zaman.
Suatu kali kami rapat santai, dan saya mengusulkan musik Kenny G sebagai musik latar. Ternyata ada yang bertanya: “Siapa itu Kenny G?”
Oh, ternyata yang saya anggap orang terkenal, belum tentu dikenal oleh semua orang. Apalagi kalau orang itu tidak hidup di zaman mereka, atau tidak terus disebut-sebut setiap hari. Kecuali, mungkin, tokoh agama atau tokoh perjuangan yang diajarkan di buku pelajaran.
Dulu, saya membeli buku kecil itu di sebuah toko kecil di pinggir jalan, dekat palang kereta api yang tidak jauh dari stasiun di kota saya. Saya beli waktu SMA. Sepertinya, waktu itu belum banyak orang yang tahu tentang buku itu.
Buku itu kemudian menemani hari-hari saya. Setiap pagi selepas subuh, saya baca isi buku itu. Tak sekadar arti bacaan, di dalamnya juga tercantum keterangan dasar hukum atau dalilnya.
Entah kenapa, buku kecil itu terselip dan tak lagi bersama saya. Barangkali karena isinya sudah saya hafal. Dan kini, saya menemukannya kembali.
Di salah satu lembar kosong dalam buku itu, ada tulisan tangan saya—yang saya sendiri lupa kapan menulisnya. Isinya begini:
"Bahwa sesungguhnya senjata yang paling ampuh adalah doa."
Buku kecil itu berjudul Al-Ma’tsurat.
Semoga Anda tahu—atau akan mencari tahu—siapa penyusunnya.