Jelajah sudut
-(Selasa, 27 Mei 2025)-
Sebab mengantar seorang ibu yang terlepas dari rombongannya itu, telah memunculkan gagasan baru: mengeksplorasi kota ini melalui city tour—yang insyaAllah aman dan gratis. Caranya, kami naik bus layanan jamaah dari setiap terminal yang berada di dekat pintu-pintu Masjidil Haram.
Sesampainya di titik akhir, kami tetap berada di dalam bus itu untuk kembali lagi ke Masjidil Haram. Atau, jika diperlukan, diarahkan oleh pengemudi bus untuk naik ke bus di depannya dengan nomor yang sama yang sudah siap berangkat.
Setidaknya, saya bisa memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang kota ini. Saya bisa melihat topografi kota yang memang terdiri dari bukit-bukit atau gunung-gunung batu—yang benar-benar batu. Saya juga bisa melihat rumah-rumah penduduk yang berbentuk kotak-kotak tanpa genteng, barangkali karena suhu udara siang hari yang panas. Hampir semua bangunan dilengkapi dengan AC. Sepanjang perjalanan, saya melihat begitu banyak hotel di sepanjang jalan dari ketiga terminal itu. Semua itu barangkali digunakan untuk akomodasi bagi umat yang hendak melaksanakan ibadah haji maupun umrah.
Bahkan, kemarin kami sempat dua kali naik bus dengan nomor dan jurusan yang sama. Begini ceritanya.
Ketika kami tiba kembali di terminal tersebut, kami menemukan dua orang ibu-ibu yang tertinggal dari rombongannya. Mereka tampak ragu mengenai nomor bus yang harus mereka tumpangi untuk kembali ke hotel setelah beribadah dari Masjidil Haram.
Alhamdulillah, salah satu ibu membawa HP dan memiliki nomor jamaah lain yang bisa saya hubungi. Setelah dijelaskan, ternyata mereka memang harus pulang menggunakan bus dengan nomor yang sama seperti yang baru saja saya tumpangi. Maka, untuk memastikan kedua ibu itu tiba dengan selamat di hotel mereka, kami pun mengantar mereka naik bus tersebut. Artinya, kami melewati jalur yang sama dua kali, dan kembali melihat keadaan kota di sepanjang jalur bus itu.
City tour di hari yang lain juga membawa kami bertemu dengan teman istri, beserta suaminya, yang baru saja tiba dari melaksanakan umrah sunnah.
Di lobi hotel mereka, kami berbincang tentang pengalamannya dalam mengambil miqat. Obrolan kami pun sampai pada beberapa alternatif transportasi untuk menuju ke miqat. Selain naik taksi atau carter mobil, ternyata ada alternatif lain: naik Bus Makkah berbayar, seperti TransJakarta atau BRT.
Setelah silaturahmi tersebut, kami kembali ke terminal dekat salah satu pintu Masjidil Haram. Setelah bertanya kepada petugas haji, kami ditunjukkan terminal Bus Makkah yang bisa membawa kami ke tempat miqat terdekat.
Meskipun kami belum siap dengan pakaian ihram, kami tetap ingin mengetahui jalur tersebut. Barangkali nanti akan bermanfaat bagi kami, atau orang lain, yang ingin melaksanakan umrah sunnah dua atau tiga hari sekali selama di sini.
Kami menemukan loket pembelian tiket bus tersebut—yang harganya relatif sangat murah. Ternyata, selain kami, ada juga beberapa penumpang—bukan orang Indonesia—yang sudah berpakaian ihram dan juga hendak menuju tempat miqat tersebut. Tak berapa lama, kami pun tiba di sana.
Bagaimana cara kembali ke Masjidil Haram? Ternyata di lokasi itu juga tersedia semacam titik pemberangkatan penumpang. Di jalur masuk ke bus, terdapat kios pembelian tiket bus.
Begitulah, dalam beberapa hari ini, setelah Subuh dan tawaf, kami berusaha mengeksplorasi sudut-sudut Masjidil Haram dan kota Makkah.