Menuju jeda
-(Kamis, 8 Mei 2025)-
Saya menengok ke kanan lalu balik ke belakang untuk terus memandangi kantor itu dengan segala perasaan yang sulit untuk dituliskan. Saya hanya melihatnya dan berusaha menyadari apa yang saya lakukan. Saya ingin merekam momen itu dan menyimpannya dalam-dalam. Yang entah sampai kapan akan terus bertahan dalam memori saya.
Ketika mata saya tak bisa lagi melihat kantor itu, saya hanya bisa memandangi suasana jalanan kota yang lengang dengan lampu jalan yang temaram.
Sebenarnya sebelum melintasi kantor itu -tepatnya setelah keluar dari jalanan perumahan dan masuk jalan utama, saya sudah mulai memperhatikan suasana malam. Lampu-lampu temaram yang berada di pinggir jalan dan juga di garis pemisah jalan itu, terlihat menawan. Yang pemandangan itu semakin menegaskan adanya kemajuan di kota ini.
Tak bisa dipungkiri, ada kedeltaan dari keadaan sekarang dibandingkan dengan pertama kali saya datang ke kota ini. Artinya, kota ini terus berbenah menuju visi terdepan. Visi yang terus digaungkan pemerintah daerah agar menjadi narasi dan abstraksi bersama di benak masyarakat. Barangkali visi dan narasi itu yang menjadi pengikat dan penguat bagi sebuah kerjasama dan kolaborasi demi kemajuan bersama.
Begitulah salah satu poin dari buku Sapiens karya Yuval Noah Harari, bahwa salah satu kekuatan manusia hingga mampu bertahan hingga sekarang adalah kemampuannya bekerja sama dalam jumlah yang besar. Yang itu bisa dilakukan melalui sebuah narasi.
Memulai perjalanan menuju jeda sejenak itu, nampaknya telah diselaputi perasaan melankolis. Tak apa, toh itu bukan sebuah kesalahan, apalagi dosa. Setiap individu berhak untuk memaknai setiap momen dalam hidupnya, dengan sesuatu yang membuat dirinya hanyut dalam makna itu. Barangkali itu juga menjadi cara manusia untuk tidak kehilangan dirinya di tengah arus deras informasi dan kemajuan teknologi. Yang faktanya sudah banyak diantara kita larut dalam algoritma. Seolah kita tak lagi punya kebebasan diri, karena telah terbawa arus kemauan algoritma media. Disitulah arti penting untuk kembali menyadari diri atas apa yang sedang dilakukan, atas apa yang terjadi, lalu bagaimana membuat makna sendiri atas semua itu.
Bagaimanapun saya akhirnya melewati batas kota dan jalanan yang menurun itu. Dan mata saya tak mampu lagi melihat kota itu. Yang kemudian saya bertemu dengan pertanyaan: apakah saya akan melihat kota itu lagi, ataukah ada rencana Tuhan yang mesti saya jalani.
Di tengah kehidupan yang menawarkan banyak kemungkinan, manusia nampaknya perlu membuat rencana dan menyiapkan diri. Sehingga perlu menyusun plan A dan plan B. Bahkan plan C, dst. Meski dengan segala plan itu, saya lagi-lagi terjebak dalam kehidupan masa depan. Padahal baru saja saya hidup di saat sekarang dengan hanya melihat suasana malam hari atas kota yang saya tinggalkan.
Begitulah. Sebuah refleksi spontan atas momen singkat yang begitu saya sadari. Yang spontanitas pikiran saya itu sepertinya telah terjangkiti nuansa ekstensialis.