Pergaulan global

-(Senin, 26 Mei 2025)-

Setiap manusia memulai perjalanannya dalam bergaul dari lingkup yang paling kecil: keluarga inti. Dari situ, ruang pergaulan meluas secara bertahap. Pertama-tama dengan tetangga dan sanak saudara, kemudian berkembang saat seseorang memasuki dunia sekolah dasar, di mana ia mulai berinteraksi dengan teman-teman dari dusun atau desa yang berbeda, bahkan dari kecamatan lain.

Ketika memasuki jenjang SMP dan SMA, jangkauan pergaulan semakin luas, mencakup antar kecamatan dan wilayah yang lebih besar. Puncaknya terjadi saat seseorang melanjutkan ke perguruan tinggi. Di fase ini, ia akan bertemu dengan teman-teman dari berbagai daerah: lintas kabupaten, provinsi, bahkan pulau. Dunia kerja melanjutkan proses ini, mempertemukannya dengan rekan dari berbagai penjuru tanah air, sehingga pergaulannya telah menjangkau level nasional.

Semakin luas cakupan pergaulan, semakin terbuka pula wawasan seseorang. Ia tidak lagi melihat dunia hanya dari sudut pandang lokal, melainkan mulai dari ketinggian yang memungkinkan ia mengenali pola-pola besar. Meski detail mungkin tak lagi tampak jelas, namun perspektif makro ini memberinya pemahaman yang lebih menyeluruh terhadap arah perubahan dan pengaruh lingkungan sekitarnya.

Puncak dari perluasan pergaulan ini terjadi ketika seseorang memasuki ruang pergaulan global. 

Dalam perjalanan ibadah ini, saya berkesempatan bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia, yang datang dengan niat, tujuan, dan harapan yang sama: menunaikan rukun Islam kelima.

Meskipun manusia sejatinya sama di hadapan Tuhan, identitas kultural dan kebangsaan tetap melekat. Di situlah pentingnya membawa dan mencerminkan kebaikan dari bangsa kita. Perilaku, keramahan, dan empati yang kita tunjukkan menjadi representasi tak langsung dari negara yang kita wakili. Ini bukan semata demi citra bangsa, melainkan memang selaras dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam agama.

Dini hari itu, di pelataran Ka’bah, setelah menyelesaikan tawaf, saya mencari tempat kosong di antara barisan jamaah untuk menunggu salat Subuh. Saya melihat ada celah di antara dua jamaah yang bukan berasal dari Indonesia. Dengan isyarat, saya meminta izin untuk duduk di sana. Salah seorang dari mereka mengangguk ramah. Setelah duduk, saya menyalaminya dan kami saling tersenyum. Ia berkata berasal dari Bangladesh, dan tentu saya bilang: Indonesia.

Karena waktu masih menunjukkan beberapa menit sebelum azan, saya memilih berzikir. Ketika melihat orang Bangladesh itu mengambil swafoto, saya menawarkan diri untuk membantu memotretnya. Ia menyambut tawaran saya, menyerahkan ponselnya, dan saya mengambilkan foto dengan latar Ka’bah. Ia berterima kasih, dan saya membalas dengan ucapan serupa.

Tak lama kemudian, saya melihat orang di sebelah kanan saya juga ingin berfoto. Saya kembali menawarkan bantuan. Setelah melihat hasil foto pertama, ia meminta saya untuk mengambil satu lagi yang menampilkan dirinya secara utuh dari kepala hingga kaki. Saya memotretnya ulang, dan kali ini ia tampak puas. Sambil tersenyum, ia memperkenalkan diri sebagai jamaah dari Iran. Ketika saya menyebut bahwa saya berasal dari Indonesia, ia mengangguk ramah.

Hari-hari berikutnya, momen yang serupa kembali terjadi. Saat menunggu salat Subuh, saya menyapa jamaah di samping kiri saya. Ia berasal dari Nigeria. Saya juga menyapa jamaah di sebelah kanan saya, yang dari Afghanistan, dan kemudian pada salat Dhuhur saya bertemu dengan jamaah Bangladesh. Percakapan kami singkat, namun penuh makna. Ketika mengetahui ia dari Bangladesh, saya menyebut nama Muhammad Yunus, penerima Nobel, sebagai tanda bahwa saya mengenal tokoh besar dari negaranya. Saat berbincang dengan jamaah Nigeria, saya menyebut kehebatan tim sepak bola mereka. Hal-hal kecil ini mungkin bisa menjadi jembatan dalam interaksi antarbangsa yang hangat dan bersahabat.

Perjalanan ibadah ini ternyata juga memperluas cakrawala pergaulan kami ke tingkat global. Ini membuka kesadaran baru—bahwa dalam pertemuan lintas negara dan budaya, kita membawa lebih dari sekadar diri pribadi; kita membawa nama bangsa, dan nilai-nilai luhur yang menyertainya.

Begitulah, meski dunia ini begitu luas, namun kita semua bisa terhubung dalam satu titik, ketika niat dan tujuan menyatu. Saya melihat bahwa wajah pergaulan dunia bukan sekadar pertemuan antarindividu, tapi juga pertemuan antarbudaya, nilai, dan harapan. Di tengah keragaman itu, menjadi manusia yang ramah, terbuka, dan penuh empati, barangkali sebuah peran yang layak dijalani. Sebab, mungkin saja dalam satu senyuman atau uluran tangan yang tulus, orang lain membentuk kesan terhadap seluruh bangsa kita.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi