Haus validasi

-(Kamis, 15 Mei 2025)-

"Semakin tinggi seseorang menjunjung egonya, semakin besar pula kecenderungannya mencari validasi—meski kadang tak disadari." 

Barangkali itulah yang terjadi pada saya kemarin. 

Setelah menyelesaikan urusan pajak kendaraan di Samsat, saya pergi ke tukang cukur. Biasanya saya hanya minta rambut dirapikan, tapi kali ini saya meminta potongan yang lebih cepak—lebih banyak bagian rambut dicukur. Ada beberapa percakapan dengan tukang cukur itu yang membuat saya merasa senang. Saya merasa mendapat validasi darinya. Mungkin itu memang bagian dari strateginya untuk menarik dan mempertahankan pelanggan: membuat pelanggan merasa nyaman dan dihargai. 

Hal seperti ini sebenarnya juga penting untuk menjadi perhatian bagi instansi atau kantor layanan publik. Salah satu strategi yang sudah diterapkan oleh Samsat di daerah ini adalah penghapusan atau pemutihan tunggakan pajak kendaraan dari tahun-tahun sebelumnya. Kebijakan semacam ini tentu membuat banyak orang tersenyum—sebuah bentuk layanan yang menyentuh sisi keinginan warga. 

Kembali ke tukang cukur tadi. Ia sempat bertanya tentang jumlah anak saya dan usia anak pertama. Saya menjawab: anak tertua saya berusia dua puluh sekian tahun. Dalam hati saya bertanya-tanya, mengapa ia menanyakan itu. Apakah ia merasa heran dengan penampilan saya? Naluri haus validasi pun muncul. Saya balik bertanya: 

"Belum pantas ya, Pak?" 

Ia tertawa dan menjawab bahwa saya masih terlihat muda. Saya pun melambung. Kepala terasa membesar. 

Memang, potongan rambut baru sering memberi kesan lebih segar pada penampilan. Tapi mungkin bukan hanya karena rambut—bisa jadi ada faktor fisik atau energi lain yang terpancar hari itu. 

Sepulang dari masjid usai salat Maghrib, kami kedatangan tamu—perwakilan warga RT di lingkungan kami. Dalam perbincangan ringan, salah satu Ibu menyebut bahwa saya masih "timur", istilah dalam bahasa Jawa yang berarti muda. 

Ucapan itu membuat saya kembali melambung. Itu validasi kedua di hari yang sama. Dan, jujur, saya menikmatinya. 

Namun pada saya membuat tulisan ini, saya jadi merenung: betapa diri ini masih belum sepenuhnya lepas dari keinginan yang—dalam kacamata spiritual—tergolong dangkal. Padahal, suatu hari nanti, saya mungkin akan menghadapi situasi di mana ego dan keinginan duniawi seperti itu harus benar-benar dilepaskan. Tak ada lagi pangkat, jabatan, status sosial dan juga usia. Apalagi pengakuan atau validasi. 

Barangkali memang begitu tabiat ego. Yang berbisik halus dalam pujian, like atau bentuk apresiasi lainnya. Dan dari bisikan kecil itu, muncul gelombang keinginan untuk merasa diakui, dianggap, dan dikukuhkan eksistensinya. 

Tapi bukankah sejatinya hidup adalah proses pulang—dari yang semu menuju yang hakiki, dari yang riuh menuju yang hening, dari citra menuju esensi? 

Entahlah, berapa orang yang mengerti akan kesejatian hidup itu. Dan apakah saya dan anda sudah termasuk yang paham? 

Validasi dari luar sering kali hanya bayangan air di permukaan danau: menenangkan, namun mudah pecah oleh riak kecil. Sementara ketenangan sejati hanya mungkin ditemukan saat kita tak lagi menengok bayangan itu, melainkan menyelam ke dasar. 

Mungkin inilah yang sedang saya pelajari, perlahan: bahwa menjadi berarti tak selalu harus tampak, dan merasa cukup tak selalu datang dari dikagumi. 

"Ego yang dijunjung tinggi, kerap diam-diam menggenggam haus akan pengakuan. Tapi jiwa yang matang tahu: pengakuan terdalam adalah ketika kita tak lagi membutuhkannya."

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi