Apakah kebetulan?
-(Minggu, 25 Mei 2025)-
Menjelang hari keberangkatan ke Tanah Suci, saya tergerak untuk menghubungi seorang teman Kemenag yang saya kenal ketika mengikuti manasik haji di tempat tugas itu. Tujuan saya sederhana: meminta nomor WA salah satu jamaah yang pernah ikut manasik bersama. Setelah mendapatkan nomor yang dimaksud, saya pun menghubunginya. Dalam percakapan WA singkat itu, ia menyampaikan bahwa ia menginap di hotel nomor sekian—sebuah sistem penomoran yang rupanya digunakan oleh pihak penyelenggara haji untuk mempermudah identifikasi hotel, menggantikan nama-nama hotel yang mungkin asing dan sulit diingat.
Pagi itu, usai salat Subuh di pelataran Ka’bah, saya kembali bertemu istri dan bergerak ke tempat air zamzam. Ketika saya kembali dari mengambil air zamzam, saya melihat istri sudah bersama seorang perempuan berumur yang tampak kebingungan. Rupanya, ia terpisah dari suaminya dan rombongan saat melaksanakan tawaf, dan sayangnya ia tidak membawa telepon genggam.
Beruntung, di bagian luar tas beliau tertulis nomor HP suaminya. Kami langsung menghubungi nomor tersebut. Namun, kendala mulai muncul—perbedaan bahasa dan keterbatasan pemahaman teknologi menjadi tantangan tersendiri. Kami berusaha mencari petugas haji untuk membantu, dan melaporkan kejadian ini. Namun entah mengapa, si ibu tampak lebih nyaman bersama kami, mungkin karena sentuhan empati yang tak bisa dijelaskan dengan logika.
Kami sempat berharap sang suami atau ketua rombongannya akan segera menjemput, namun di tengah lautan manusia yang memenuhi Masjidil Haram, kami tahu itu bukan hal mudah. Sebenarnya, si ibu memiliki kartu identitas yang dilengkapi barcode yang bisa dipindai untuk menemukan data lokasi hotelnya. Tapi entah kenapa, kami tidak terpikir atau tidak berusaha maksimal untuk menggunakan teknologi itu. Mungkin karena pengalaman pribadi—kadang teknologi malah membuat rumit sesuatu yang seharusnya sederhana.
Kemudian, saya teringat kembali teman manasik yang saya hubungi sebelum keberangkatan. Ia berasal dari embarkasi yang sama dengan si ibu, dan ternyata mereka tinggal di hotel yang nomornya sama pula. Saya segera menghubunginya lagi, dan ia mengirimkan lokasi hotel serta informasi terminal bus yang bisa mengantar kami ke sana.
Namun, ternyata terjadi kesalahpahaman soal lokasi terminal. Tentu, kami juga belum paham dengan terminal Bus yang lain. Kami baru hafal satu terminal saja, tempat berhenti Bus dari hotel kami. Bahasa juga menjadi kendala ketika kami bertanya pada petugas keamanan atau warga di sini. Dalam kondisi seperti itu, kami memutuskan untuk menggunakan taksi, bermodalkan share location dari teman manasik saya itu.
Alhamdulillah, kami berhasil tiba di hotel tersebut. Ternyata, si ibu pun belum sepenuhnya mengenal hotel itu karena belum lama tiba dari Madinah. Kami menunggu di lobi hingga akhirnya suaminya datang. Saat keduanya bertemu kembali, ada rasa lega dan syukur yang tak bisa diucapkan kata-kata.
Setelah misi selesai, kami kembali lagi ke Masjidil Haram. Kami berencana menunaikan salat Jumat. Dalam keheningan hati, saya merenung.
Kenapa saya begitu terdorong untuk mencari nomor WA teman manasik itu sebelum berangkat? Yang ternyata ia tinggal di hotel yang sama dengan ibu tersebut? Apakah semua ini kebetulan?
Ataukah ini cara Tuhan mengatur peristiwa agar saya—yang hanya manusia biasa—ikut ambil bagian dalam sebuah skenario yang jauh lebih besar dari logika saya?
Mungkin inilah yang disebut dengan takdir yang halus, yang hanya bisa dilihat oleh mata batin. Di Tanah Suci, saya belajar satu hal: bahwa niat baik, sekecil apa pun, bisa menjadi bagian dari rencana-Nya yang agung. Bahwa setiap langkah, setiap pertemuan, setiap dorongan hati—barangkali adalah bisikan Ilahi yang memandu dalam senyap.
Di kota suci ini, saya merasa bukan hanya sedang menunaikan ibadah, tapi juga sedang dituntun untuk memahami makna keberadaan: bahwa dalam semesta-Nya yang luas, tak ada satu pun yang benar-benar kebetulan.