Tanpa penilaian
-(Kamis, 22 Mei 2025)-
“Ya Allah, bantu aku melihat ciptaan-Mu tanpa kacamata pengalamanku.”
Menjalani perjalanan ibadah bersama banyak orang merupakan pengalaman yang penuh hikmah, namun juga menantang. Dalam perjalanan seperti ini, kita akan bertemu dengan individu-individu dari latar belakang yang berbeda—dari segi budaya, profesi, pengalaman hidup, hingga cara berpikir. Perbedaan ini, bila tidak dikelola dengan baik, bisa menimbulkan gesekan batin maupun konflik kecil yang berujung pada rasa jengkel dan emosi.
Salah satu tantangan yang sering muncul adalah kecenderungan untuk menganggap bahwa kebiasaan kita adalah standar umum. Kita sering kali mengira bahwa orang lain memiliki selera, nilai, dan cara pandang yang sama. Padahal kenyataannya, setiap individu membawa latar belakang dan pola hidup yang unik. Maka tak jarang kita mendapati hal-hal yang tidak kita sukai dalam kebiasaan orang-orang di sekitar kita.
Dalam konteks ini, komunikasi memegang peran penting. Komunikasi yang terbuka dan bijaksana dapat menjembatani perbedaan dan menumbuhkan toleransi, sehingga potensi kesalahpahaman dapat diminimalkan. Namun, tak jarang pula kita merasa enggan untuk menyampaikan sesuatu demi menjaga keharmonisan hubungan. Di sinilah diperlukan kesiapan mental dan batin untuk menghadapi berbagai situasi dengan lapang dada.
Kesabaran menjadi kunci utama. Namun, untuk bisa bersabar secara efektif, kita memerlukan mekanisme berpikir yang sehat. Pikiran manusia terus bergerak, merespons banyak hal—termasuk memunculkan kekhawatiran atau penilaian negatif. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menghadirkan kesadaran penuh terhadap situasi yang sedang berlangsung, tanpa buru-buru menghakimi atau menilai.
Konsep ini sejalan dengan ajaran Timur, yang mengajarkan pentingnya “kesadaran tanpa penilaian”. Meskipun berasal dari tradisi berbeda, prinsip ini sejatinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang kita anut. Berpikir tanpa penilaian bukanlah hal yang mudah, karena kita cenderung menafsirkan realitas berdasarkan pengalaman masa lalu yang sifatnya sangat subyektif. Padahal, situasi yang dihadapi saat ini bisa jadi berbeda konteks maupun zamannya.
Ada kalanya pula kita merespons sesuatu yang sebenarnya bisa menjadi pengalaman baru dan berharga, namun karena pengalaman lama mendominasi pikiran, kita justru menolak hal tersebut. Akibatnya, peluang untuk memperbarui cara pandang dan memperkaya wawasan pun terlewatkan.
Maka dari itu, doa di awal alinea ini barangkali relevan: agar kita dapat memandang sesama dan segala situasi dengan kejernihan hati, bukan semata dari kacamata pengalaman pribadi. Terlebih dalam momen perjalanan ibadah yang sarat akan interaksi sosial, doa ini menjadi pengingat untuk senantiasa menghadirkan kesabaran, keterbukaan, dan kesadaran yang utuh.