Bubur tumpang
-(Sabtu, 17 Mei 2025)-
Saya mengajaknya berjalan kaki menuju tempat yang berbeda dari biasanya. Kali ini, saya katakan bahwa saya ingin sarapan makanan klasik: bubur lemu dengan sambal tumpang.
Sambal tumpang adalah jenis sambal khas yang hanya ada di daerah ini dan sekitarnya. Artinya, sambal ini sulit ditemukan di luar provinsi ini, apalagi di luar Pulau Jawa.
Lalu, bagaimana dengan bubur lemu? Sebenarnya, bubur seperti ini bisa ditemukan di banyak tempat—terutama di rumah sakit—karena memang berbahan dasar bubur nasi. Namun, yang membedakan adalah rasa dan kekhasannya. Bubur lemu memiliki rasa yang lebih gurih karena campuran santannya yang lebih banyak.
Biasanya, bubur lemu dengan sambal tumpang disajikan dalam satu piring, lengkap dengan sayur dan lauk. Tapi kali ini saya memintanya disajikan secara terpisah: bubur lemu, sambal tumpang, sayuran, dan lauk masing-masing di wadah tersendiri.
Dengan sajian yang terpisah ini, saya bisa menikmati rasa tiap elemen satu per satu, lalu bereksperimen mencampurkan berbagai kombinasi untuk menemukan cita rasa yang paling pas di lidah.
Pengalaman makan ini juga menjadi kesempatan bagi saya untuk mengaktifkan perangkat gigi bagian kiri. Saya tidak tahu apakah orang lain juga menggunakan sisi kiri dan kanan gigi mereka secara bergantian. Namun, seiring bertambahnya usia, pada sebagian orang beberapa bagian tubuh tidak lagi berfungsi secara maksimal.
Ada orang yang mulai memerlukan kacamata karena penglihatannya kabur. Ada pula yang butuh alat bantu dengar karena kemampuan pendengarannya menurun. Begitu pula dengan fungsi gigi. Maka, ketika bertemu dengan makanan yang lunak seperti bubur lemu ini, saya ingin merasakan sensasi mengunyah dengan sisi kiri yang jarang saya gunakan.
Setelah selesai sarapan, kami pulang lewat jalan yang berbeda dari rute saat berangkat. Masih tetap berjalan kaki. Dalam perjalanan pulang, saya melihat sebuah tempat kuliner yang menyita perhatian. Tempat itu berbentuk segi empat, dikelilingi kios-kios di pinggirannya. Namun, semuanya tampak usang dan tidak lagi digunakan. Hanya satu atau dua kios yang masih terlihat beroperasi.
Dari penampilannya, tampaknya tempat itu dulu dibangun sebagai pusat UMKM dan kuliner. Tapi entah mengapa, kini hanya tersisa sedikit aktivitas.
Saya lalu membandingkan dua hal: fungsi gigi kiri saya yang tak lagi optimal dan pusat kuliner itu yang tampaknya kurang berkembang. Keduanya membuat saya bertanya-tanya—apakah memang segala sesuatu ada masanya? Ada masa ketika semuanya berjalan baik, namun seiring waktu menjadi tidak maksimal?
Ataukah sebenarnya semuanya tergantung pada upaya yang kita lakukan—bagaimana kita merawat, memperhatikan, dan menyesuaikan diri agar semuanya bisa tetap berjalan baik dan bertahan lebih lama?