Satu kerinduan

-(Sabtu, 24 Mei 2025)-

Pagi itu, sebelum waktu Subuh tiba, kami berangkat menuju Masjidil Haram. Dari depan hotel tempat kami menginap, kami menaiki bus yang beroperasi nyaris 24 jam untuk antar jemput jamaah. Gratis. Ada nomor Bus yang perlu kita hafalkan dan terminal mana ia berhenti. Dari terminal itu, jamaah akan berjalan kaki kurang lebih 1 km untuk menuju pintu Masjidil Haram. 

Rupanya, bukan hanya kami yang memiliki niat untuk berangkat lebih awal; banyak jemaah lain yang juga ingin meraih keutamaan sholat Subuh di Masjidil Haram. Tak butuh waktu lama, bus pun segera terisi penuh dan meluncur menuju terminal yang dekat dengan salah satu pintu masuk Masjidil Haram. Yaitu yang dekat dengan Clock Tower itu. Yang ada Jam besar itu. 

Jika hari pertama itu kami beribadah di pelataran Ka'bah, kali ini kami ingin mencoba pengalaman baru: melaksanakan sholat di lantai dua. Sesampainya di area masjid, kami mengikuti arus jemaah yang terus bergerak menuju tempat sholat. Pemandangan lautan manusia yang datang dari berbagai penjuru dunia untuk melaksanakan ibadah Subuh benar-benar luar biasa. 

Berbeda dengan pelataran Ka’bah, di mana pria dan wanita bisa bercampur saat melakukan tawaf dan sholat sunnah setelahnya, pelaksanaan sholat fardhu tetap dilakukan dengan pemisahan antara jamaah pria dan wanita. Karena ini pengalaman pertama kami di lantai dua, sempat timbul kekhawatiran: bagaimana jika kami terpisah? Dalam perjalanan menuju area sholat, kami pun berdiskusi singkat untuk menetapkan titik temu sebagai bentuk mitigasi risiko jika terpisah setelah sholat. 

Akhirnya, di satu titik, kami berpisah. Saya menuju barisan pria, dan istri saya diarahkan oleh petugas ke barisan wanita yang ternyata, belakangan baru saya ketahui, berada tepat di belakang barisan saya. Saat itu, saya belum tahu posisi pastinya, sehingga sempat merasa khawatir. Namun, saya mencoba untuk tetap tenang. Saya percaya akan ada jalan, terlebih kami masih bisa saling berkomunikasi melalui WA jika diperlukan. 

Saya pun mengambil tempat dalam shaf dan memulai sholat sunnah. Di sekeliling saya, tampak para jamaah dari berbagai negara, kebanyakan dari kawasan Timur Tengah. Saya berada di tengah kerumunan yang terasa asing—baik dari segi bahasa, postur tubuh, maupun budaya. Untuk sesaat, naluri purba dalam diri saya memunculkan tanda bahaya, mungkin karena perbedaan fisik yang cukup mencolok. Namun, saya segera menyadari bahwa perasaan itu hanya reaksi alami terhadap sesuatu yang asing. Saya mencoba tenang dan membuka hati sepenuhnya untuk menyerap pengalaman ini. 

Saya mengamati sekitar. Setiap sudut lantai dua nyaris penuh. Lautan orang menghadap ke arah yang sama—Ka’bah. Sebuah pemandangan yang begitu menggetarkan hati. Semua orang, dari berbagai latar belakang dan negara, berdiri dalam kesatuan yang harmonis. Saya menyaksikan kekayaan budaya yang tercermin dari pakaian, bahasa, dan perilaku para jamaah. 

Momen itu membuat saya merenung. Betapa luar biasanya kekuatan agama dalam menyatukan umat manusia. Di tengah perbedaan yang begitu luas, mereka datang dengan tujuan yang sama, bersujud kepada Tuhan yang sama. Pengalaman ini memberi pelajaran besar tentang kebersamaan, ketundukan, dan kekuatan kolektif yang hanya bisa lahir dari iman yang sama. 

Pengalaman ini juga mengajarkan saya bahwa perjalanan ibadah ini bukan hanya soal ritual fisik, tetapi juga tentang perjalanan batin—melatih kesabaran, menghadapi ketidakpastian, serta memperluas empati terhadap sesama manusia dari latar belakang yang berbeda. Dalam kekhusyukan dan keterasingan itu, saya belajar bahwa rasa aman sejati tidak selalu datang dari lingkungan yang kita kenal, tapi dari keyakinan bahwa kita berada di tempat yang benar, melakukan hal yang benar, bersama orang-orang yang memiliki tujuan yang sama—mencari ridha Ilahi. 

Begitulah. Barangkali inilah makna terdalam dari kebersamaan dalam ibadah. Bukan untuk sekadar berada di tempat yang sama, melainkan untuk menyadari bahwa di balik segala perbedaan, manusia memiliki satu kerinduan yang sama—mencari makna, mencari Tuhan, dan pada akhirnya, mencari diri sendiri.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi