Mindfulness

-(Kamis, 1 Mei 2025)-

Kenyataannya, sebagian orang lebih banyak hidup di masa lalu dan masa depan. Saya menggunakan kata sebagian, agar lebih "aman". Karena itu masih prasangka saya. Kata ini juga membebaskan saya dari tuntutan pengungkapan data. Dibandingkan misalnya saya menggunakan kata banyak. Kata ini bisa memicu pertanyaan. Berapa angkanya. Berapa persentasenya. Darimana angka itu. 

Karenanya, saya memilih kata sebagian, meski sejatinya saya ingin mengatakan banyak. Atau jangan-jangan semua orang begitu.

Mengapa?

Pertama, ini yang saya rasakan. Betapa pikiran ini selalu menghadirkan peristiwa silam dan imajinasi masa depan. Dengan peralihan yang sangat cepat. Bahkan saat makan pun kadang saya lengah, dengan sesuatu yang tiba-tiba hadir dalam pikiran. Sehingga tak merasakan manisnya pepaya. Atau gurihnya mandai.

Jika dicermati, sesuatu dalam pikiran itu hanya dua kemungkinan: masa yang telah lewat dan bayangan yang belum terjadi atau diinginkan terjadi. Itulah yang saya maksudkan hidup di masa silam dan masa depan.

Padahal, kita hidup di detik ini. Melakukan aktivitas saat ini. Yang kadang kita tak menyadari. Bahkan sering tak sadar kalau kita tengah bernafas.

Ketika kita punya rencana untuk pergi ke satu tempat, maka biasanya pikiran akan dipenuhi dengan gambaran peristiwa yang akan terjadi nanti di tempat itu. Atau kita melihat situasi dan kondisi tempat itu di waktu sebelumnya. Artinya hidup di masa depan dan masa lalu.

Kedua, ada beberapa buku yang membahas tentang itu. Beberapa orang telah menyadari tentang fenomena pikiran yang tak pernah bisa berhenti itu. Karenanya, mereka mungkin melakukan penelitian atau pengamatan. Yang kemudian menulis buku. Yang karena ada buku-buku yang membahas tentang itu, saya menarik kesimpulan: banyak orang mengalami hal yang sama. 

Ketiga, berkembangnya ajakan untuk mindfulness. Ini yang sering kita dengar belakangan ini. Ajakan untuk terus menyadari apa yang kita alami saat sekarang. Tanpa melakukan penilaian. Ini sebagai respon atas meningkatnya penderita kecemasan. Karena overthinking dan juga karena fomo. Seseorang yang overthinking, ia seperti terus-menerus memikirkan apa yang akan terjadi nanti, alias masa depan. Sedang fomo, pada dasarnya menyesali atas sesuatu yang telah terjadi. Maka kemudian, muncul tips atau cara untuk mindfulness itu.

Dengan adanya tips itu, saya mengartikan bahwa ini terjadi di banyak orang.

Lalu, apakah itu salah? Padahal, sepertinya hal itu sudah menjadi cara kerja otak manusia. Tentu bukan soal salah dan benar. Tapi, bagaimana kita bisa hidup lebih berkualitas. 

Bagaimanapun, bayangan masa lalu dan masa depan itu kadang menghadirkan pikiran negatif. Yang justru semakin membebani. Dengan mengetahui hal ini, setidaknya kita bisa menyadari, ternyata ada pilihan lain, selain hidup di masa depan dan masa lalu. Yaitu hidup di saat ini. Dengan mindfulness itu. Yang akan merehatkan si monyet. Untuk tidak lagi loncat kesana, loncat kesini.

Hanya saja, itu bukan hal mudah.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi