Fokus
-(Minggu, 23 Maret 2025)-
Dalam satu wawancara, penulis fiksi itu menceritakan proses kreatifnya. Saat proses menulis, dia bisa berhari-hari tidak keluar kamar. Dia keluar saat makan saja. Selebihnya, fokus dengan penulisan karya fiksinya. Saat mendengar itu, batin saya berkata: kok bisa, kok kuat? Bagaimana mungkin?
Yang terjadi barangkali, dia tak lagi merasakan ruang dan waktu. Mungkin kalimat ini agak berlebihan. Coba lihat para pertapa yang bermeditasi. Yang fokus pada satu titik, dia tak lagi merasakan waktu sudah berjalan berjam-jam, atau berhari-hari.
Dalam satu riwayat, dikisahkan Ali bin Abi Thalib terkena panah di punggungnya. Beliau minta anak panah itu dicabut saat sholat. Lalu beliau sholat dengan khusu'. Yang ketika panah itu dicabut, beliau tak merasakan sakit.
Kenyataannya, fokus pada satu aktivitas, telah membuat indra kita seolah tak berfungsi. Perhatikan ketika kita asyik dan fokus dengan scroll video atau fokus sedang menulis balasan WA, kita tak lagi mendengar apa yang dikatakan orang di depan atau di samping kita. Dalam banyak hal kita tak mendengar apa yang diomongkan pembicara di seminar, saat kita harus fokus membalas WA dari pimpinan. Pun dalam rapat. Saat saya harus segera membalas WA, saya ijin dan minta diskusi dijeda dulu. Karena saya tak mendengar apa yang disampaikan peserta saat saya menulis WA.
Barangkali itu juga yang dialami oleh imam sholat tarawih. Yang membaca surat-surat panjang. Karena ia fokus melantunkan surat panjang itu, ia seperti tak merasakan sudah berdiri lama. Padahal beberapa jamaah sudah mulai gelisah.
Pun saat kita ngobrol asyik dengan seseorang yang kita sayangi, seolah waktu berjalan begitu cepat. Karena kita fokus dan menikmati momen itu.
Seorang pimpinan pernah bilang. Kalau kita bisa menikmati pekerjaan, kita akan merasa asyik dengan apa yang kita kerjakan. Lalu, hari akan terasa cepat.
Benar saja. Tiba-tiba sudah petang. Sudah malam. Sudah pada pulang. Sudah sendirian di ruangan. Bahkan ruangan lain sudah gelap semua. Kalau saja sebelumnya tak mendengar cerita-cerita penampakan, mungkin saya masih lanjut sampai malam. Itu yang pernah saya alami. Di satu gedung kantor tua itu. Dulu.
Maka, saya membayangkan apa yang terjadi pada penulis itu. Barangkali saat itu moodnya datang. Imajinasinya juga hadir dengan cemerlang. Lalu tangannya seperti tak berhenti mengetik, merangkai kalimat demi kalimat, membentuk sebuah cerita yang dipandu oleh imajinasinya itu. Seolah ia sudah tercerap masuk dalam dunia ceritanya. Itu adalah momen dimana ia ingin terus menulis hingga selesai cerita itu. Kadang rasa kantuk, rasa kencing pun ia tahan, karena tengah menikmati sensasi fokus pada cerita yang ia tulis. Target untuk segera menyelesaikan satu cerpen atau novel, juga menjadi pendorong. Maka bisa dipahami jika ia kemudian berhari-hari tidak keluar kamar.
Dan hari ini saya mengalaminya. Untuk sebuah novel.