Puasa surplus
-(Senin, 17 Maret 2025)-
Tadi siang saya menimbang badan. Sepertinya berat saya turun 2 kg. Dihitung dari berat sebelum ramadhan. Target saya selama puasa ini bisa turun 5 kg. Yang harapannya, itu bisa mengurangi lingkar perut. Tempo hari hasil MCU menunjukkan ada bintang di lingkar perut. Artinya, ukurannya diatas normal. Untuk itu, selain menjaga asupan makanan, saya juga berusaha tetap bergerak. Tidak mager.
Selama puasa saya berusaha untuk olahraga. Ketika sore menjelang berbuka. Dengan jalan kaki selama kurang lebih 30 menit. Kira-kira 3000-4000 langkah. Sambil berjalan saya mengamati orang-orang berkendara lalu lalang di jalanan. Dugaan saya mereka tengah mencari menu makanan atau takjil untuk berbuka. Ada juga yang berbelanja di toko sayuran. Atau beli ikan dan daging ayam. Saya perhatikan kios ayam goreng fried itu juga ramai pembeli. Kalau ramai begitu, biasanya karena enak dan harganya lebih murah dibanding lainnya.
Kadang saya melewati jalan atau gang di satu lingkungan perkampungan. Sambil terus jalan, sesekali saya mendengar kata-kata dari teras rumah penduduk. Ada orang yang sedang bercakap-cakap. Dengan orang yang di dalam rumah. Atau kadang sedang menelepon. Kata-kata yang tidak asing bagi saya, tapi barangkali terasa aneh. Yaitu kata-kata dalam bahasa di kampung saya. Padahal, disini. Artinya? Anda sudah tahu. Seperti juga tempo hari, saya pernah disapa seseorang. Jamaah langgar tempat saya ikut sholat tarawih. Mungkin dia merasa asing dengan saya dan penasaran. Kemudian bertanya. Tempat tinggal saya dimana. Saya menjawab dengan bahasa di kampung saya. Karena dia bertanya dengan bahasa seperti di kampung saya juga.
Hanya saja, jalan kaki di sore hari adakalanya terhambat. Tidak bisa konsisten setiap hari. Karena hujan. Bahkan pernah sampai dua kali sore turun hujan. Sehingga dua hari itu saya absen jalan kaki. Lantas, timbul rasa penyesalan, tidak bisa olahraga. Dan juga kecewa. Pun rasa tidak nyaman, karena tidak olahraga.
Barangkali ini efek sebuah kebiasaan dimana otak sudah merasa mapan dengan rutinitas itu. Ketika satu aktivitas tidak dilakukan, seperti terjadi gangguan. Mungkin ini mirip ketika lebaran nanti. Yang biasanya banyak yang kena sakit perut. Akibat perubahan kebiasaan dalam aktivitas makan. Jika selama satu bulan puasa di siang hari tidak makan, ketika pas lebaran, seperti terbebas dan kemudian makan sepuasnya. Bahkan apapun dimakan. Saat melihat panganan yang menarik dan pengen, langsung dicoba makan. Akhirnya, perut kaget dan kemudian mencret.
Sebenarnya, tak perlu nunggu saat lebaran. Saat berbuka pun kadang kita seolah balas dendam. Semua kita makan. Yang kadang kita baru berhenti makan saat tiba sholat isya dan tarawih. Seolah ini sekedar penjeda. Karena selepas tarawih masih lanjut makan. Dan mungkin baru berhenti sejam sebelum tidur. Akibatnya kita tidur dengan perut masih penuh. Ketika makan sahur, kadang juga dihinggapi rasa takut. Gimana kalau nanti pas puasa kita kelaparan atau kehausan. Akibatnya, makan sahur hingga kenyang, bahkan kekenyangan.
Begitulah. Apapun kita makan. Baik pada saat buka maupun sahur. Bisa dengan alasan: toh hari ini puasa. Jadi, gapapa makan banyak karbo, minuman manis, dan juga gorengan.
Akhirnya, saat menimbang badan, kita kaget sendiri. Kenapa tetap saja. Atau malah naik. Ini tentu menjadi hal yang aneh. Puasa malah naik timbangan. Coba kita buat perhitungan dan perbandingan. Meskipun kelihatannya siang kita tidak makan, tapi ketika berbuka dan sampai kita tidur, ternyata mulut kita terus memasukkan makanan. Akibatnya kalori yang masuk masih sama dengan ketika diluar bulan puasa. Bahkan mungkin lebih banyak. Ini yang menjadi penyebab kenapa timbangan tidak turun. Karena tidak ada defisit kalori. Yang terjadi malah surplus kalori.
Dalam satu bukunya, Harari menulis bahwa jika dulu banyak manusia yang meninggal karena kelaparan, justru sekarang banyak yang meninggal karena kekenyangan. Maksudnya, kalori yang berlebih pada tubuh telah mengakibatkan banyak penyakit. Yang membawa pada kematian.
Dunia ini memang penuh paradoks. Dulu, saat manusia kekurangan pangan, mereka bermimpi tentang surplus pangan. Tapi kini, ketika melimpah, justru kelebihan makan itulah yang membawa masalah. Kita makan lebih banyak. Dari yang dibutuhkan. Kelaparan pernah menjadi musuh terbesar. Tapi sekarang, kekenyangan yang justru perlahan menggerogoti.