Senjata makan tuan
-(Selasa, 18 Maret 2025)-
Disrupsi akibat teknologi itu memang nyata. Ada di sekitar kita. Alat yang kita pakai dalam bekerja terus berubah. Meningkat ke teknologi yang lebih canggih. Dari mesin ketik, PC lemot, PC pentium, hingga laptop. Yang tak perlu lagi mesti duduk di satu tempat yang tetap. Dari yang masih menggunakan kertas berkarbon sampai dengan paperless. Semuanya cukup dibaca di layar. Sehingga ada yang tersingkir. Tak digunakan lagi. Rontok oleh teknologi.
Pada mulanya koran nasional langganan kami datang pada hari dan tanggal penerbitan. Belakangan sudah beda hari dan tanggal. Koran minggu, saya baca senin. Koran senin saya terima selasa. Dan seterusnya. Ini persis waktu saya berada di satu daerah di pulau yang mirip huruf K. Tepatnya di bagian bawah kaki depan. Seingat saya, dua hari kemudian baru saya baca. Artinya, sudah jadi koran bekas. Bedanya, yang dulu itu karena teknologi belum canggih ditambah lokasi yang jauh. Yang sekarang, karena saking canggihnya teknologi hingga mungkin membuat rugi.
Ini dugaan saya. Pada masa normal dulu, mungkin mereka bisa cetak jarak jauh. Koran tak perlu dikirim dari Jakarta. Sehingga, segera cepat didistribusikan kepada pelanggan pada hari itu juga. Karena disrupsi teknologi dan banyaknya media online, telah membuat banyak orang memilih untuk tak lagi membaca koran kertas. Seperti saat ini, sebagian orang memilih tak lagi menonton tipi. Karena sudah ada media lain yang menurutnya lebih menarik. Selain karena sudah ada koran versi e-paper. Yang bisa segera dibaca tanpa harus nunggu tukang koran tiba. Dalam hitungan bisnis, barangkali cetak koran jarak jauh itu tak lagi worth it. Sehingga, koran dikirim lagi dari Jakarta. Artinya, mesti menunggu. Mungkin baru tiba siang hari atau sore. Terus didistribusikan dan sampai di tempat kami. Esoknya.
Sejatinya, kami bisa beralih ke langganan e-paper yang tidak akan telat diterima. Hanya saja, ada pertimbangan lain. Kasihan tukang koran. Artinya, disrupsi teknologi telah pula menggerus satu profesi. Ada lagi contoh lainnya. Apalagi dengan kehadiran AI.
Tempo hari saya baca berita di koran itu, sudah terbit pedoman di kalangan jurnalis mengenai penggunaan AI dalam membuat karya jurnalistik. Artinya, AI bisa dipakai untuk mempercepat kerja jurnalistik, dengan tetap berpegang pada kode etik dan batasan-batasan yang disepakati. Pada akhirnya semua pihak akan berdamai dengan AI. Dan memanfaatkannya untuk mengoptimalkan kinerja.
Kenyataannya, AI ini sangat membantu. Ia mampu menggantikan kekurangan SDM. Ini pengamatan saya. Barangkali awalnya orang melirik menggunakan AI karena keterbatasan SDM. Ketika pimpinan melihat anggotanya yang terbatas sudah sibuk dengan banyak tugas, sementara ia butuh cepat, maka ia akan mencari cara bagaimana agar sesuatu yang ia inginkan bisa segera selesai. Dan AI mampu untuk memenuhi ekspektasi itu. Kuncinya: tahu caranya. Ketika kemudian ternyata produk AI lebih cepat wujud dan lebih bagus dari apa yang dihasilkan manusia, lama-lama tak butuh lagi bantuan manusia. Akibatnya, dengan pertimbangan ekonomi, ia akan mengeliminasi orang-orang yang bekerja padanya.
Begitulah. Yang awalnya AI digunakan untuk menutupi kekurangan orang, justru berujung pada tak butuh lagi orang-orang. Ini tentu sungguh mengerikan. Bak senjata makan tuan.
Apa solusinya? Coba tanyakan ke AI.