Belajar Al-Qur'an
-(Ditulis tanggal 1 Maret 2025)-
Hari ini mulai puasa ramadhan. Ingatan saya kembali ke masa silam. Masa kanak-kanak. Di kampung dulu. Saat mulai belajar puasa. Dengan puasa mbedhug. Setengah hari. Lalu, beranjak latihan puasa full. Dan berhasil.
Dunia anak adalah dunia bermain. Bersama teman-temannya. Mestinya
begitu. Yang dari bermain itu anak-anak menjadi belajar. Tanpa ia sadar. Belajar
bersosialisasi, bersaing, bekerjasama, menghargai, bernegosiasi. Maka, selama
bulan puasa itu, kami bermain dengan permainan yang khas. Seperti meriam bambu,
yang di kampung saya namanya dor-doran, dengan bahan karbit. Kami bersaing,
meriam siapa yang paling keras suaranya. Yang paling menggelegar dentumannya. Begitulah,
sedari kecil manusia itu sudah punya naluri untuk bersaing. Berkompetisi.
Jadi, soal perlombaan, pertandingan, persaingan, tak perlu
diajari. Bahkan tak perlu jadi budaya organisasi. Sudah turun-temurun diajarkan
nenek moyang dan barangkali sudah menjadi bagian dari genetik. Yang terus bersaing.
Inilah makanya anjuran yang selalu disampaikan adalah bagaimana meningkatkan
sinergi, kolaborasi, kerjasama dan gotong royong. Faktanya ini yang lebih
sulit. Karena itu bukan jati diri manusia. Adanya perang, permusuhan, persaingan
politik adalah bukti bahwa manusia itu pada dasarnya selalu ingin berkompetisi,
berambisi menang dan ingin lebih unggul daripada manusia lainnya.
Ketika siang main dor-doran, saat malam kami berada di mesjid. Untuk
sholat tarawih. Setelah itu akan dibagikan snack yang disebut puluran. Yang menjadi
daya tarik bagi anak-anak untuk bersabar mengikuti sholat tarawih dan witir
yang 23 rakaat itu. Selepas menyantap puluran, kami tak langsung pulang, tapi tadarusan.
Bergantian membaca Al-quran. Yang diharapkan selama bulan ramadhan bisa khatam
30 juz. Yang mudah-mudahan semua muslimin paham tentang komposisi Al-quran sebanyak
30 juz ini. Tidak seperti cerita jaman orde lama dulu, yang hingga sekarang saya
masih ingat. Kira-kira begini cerita itu.
Seorang pejabat melakukan kunjungan dan bertemu dengan santri anak-anak.
Saat berdialog, santri itu dengan bangga menyampaikan bahwa ia sudah hafal Al-quran
30 juz. "Alhamdulillah, saya sudah hafal 30 juz.” Pejabat itu merespon: “Wah
hebat yaa, kurang berapa juz lagi?” Yang tentu tanggapan ini membuat santri itu
bingung.
Moral cerita itu adalah pengetahuan mendasar seperti itu mesti
dimiliki oleh umat Islam. Maka, bulan ramadhan menjadi momen yang tepat untuk
belajar khazanah Islam. Khususnya Al-quran. Sebab di bulan ramadhan ada satu malam
yang diperingati sebagai Nuzulul Quran.
Kenyataannya, dorongan untuk belajar Al-quran itu sudah ada pada
usia remaja. Suatu ketika saya minta ijin ke Ibu untuk membeli Al-quran dan
terjemahannya. Yang diterbitkan Depag. Di jaman itu. Lalu, saya mulai membaca terjemahan
dan mempelajarinya lembar demi lembar. Hampir setiap hari. Di sore hari sambil
menunggu maghrib. Saya juga membuat catatan di buku tulis, ketika menemukan
ayat-ayat yang menurut saya sangat menarik. Termasuk doa-doa yang ada dalam Al-quran.
Sayang sekali buku itu entah terselip dimana. Saya masih berharap bisa
menemukan kembali buku catatan itu. Yang pada akhirnya, saya bisa mengkhatamkan
terjemahan Al-quran itu. Yang tentu saja, sebelumnya saya sudah beberapa kali mengkhatamkan
baca Al-quran. Meski saat itu saya belum tahu arti ayat-ayat yang saya baca.
Saya belajar mengaji di mesjid kampung. Selepas maghrib. Diterangi
lampu minyak. Dibimbing oleh Pak Kyai atau anak yang lebih senior. Belajar mulai
huruf hijaiyah. Alif, ba’, ta’, tsa, jim, kha’, kho’,… Waktu itu belum terbit buku
iqro. Setelah belajar mengeja, lanjut ke Juz ‘amma, dan kemudian ke Al-quran
besar, mulai dari Al-fatihah, Al-baqoroh, dst.. hingga khatam.
Rasanya, motivasi untuk belajar membaca Al-quran dan
mengkhatamkannya sudah terpatri sejak kecil. Dulu, terutama anak laki-laki didorong
untuk bisa segera khatam dan setelah itu bisa dikhitan. Dimana sebelum prosesi
khitan, orang tuanya dengan bangga akan menyelenggarakan acara Khataman Quran,
dengan mengundang tetangga dan sanak keluarga. Di kesempatan itu, anak
laki-laki yang akan dikhitan akan menunjukkan kemampuanya membaca Al-quran.
Begitulah. Cerita masa silam itu barangkali masih akan berlanjut. Dimana
inti dari bagian ini adalah bagaimana menghadirkan motivasi untuk terus belajar
Al-quran. Sebab, bagaimanapun kita harus ingat sabda Nabi SAW ini. “Sebaik-baik
kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”. (HR.
Bukhori)