Motivator backoffice
-(Sabtu, 8 Maret 2025)-
Perbincangan dua mantan menteri itu menarik. Antara Pak Gita dan Pak
Chatib. Saya dapat pengetahuan dan tambah wawasan. Pun ada beberapa istilah
yang akhirnya saya mengerti. Seperti kata desil.
Saya ingat, pertama kali bertemu dengan kata desil ini. Pada
masa covid dulu. Saya membaca ketentuan tentang pembagian BLT desa. Ada kata
desil disitu. Meski tak paham, saya tak berusaha mencari tahu. Saya pikir, ya
sudah bunyi aturannya begitu. Bahwa yang berhak menerima BLT adalah warga yang
masuk dalam desil sekian. Asumsi saya, pihak terkait sudah paham dan punya
datanya. Lagi pula monitoring yang saya lakukan tidak sampai kepada orang per
orang. Apakah benar orang yang menerima BLT itu masuk dalam desil sekian, itu
menjadi kewenangan pihak tertentu.
Setelah kurang lebih 5 tahun dan dipicu perkataan Pak
Chatib, saya kemudian mencari tahu. Apa sih desil? Saya cari di internet. Ketemu.
Ini adalah kategorisasi atau pengelompokan masyarakat. Biasanya
berdasarkan pendapatan. Dari keseluruhan akan dibagi menjadi 10 bagian yang
sama. Karena jumlah total itu 100%, maka setiap bagian adalah 10%. Sehingga desil
1 adalah 10% masyarakat yang berpendapatan paling rendah, dan desil 10 adalah
10% warga dengan pendapatan paling tinggi. Desil 2-9 adalah diantara keduanya.
Ini memang sungguh keterlaluan. Setelah sekian lama, baru sekarang
berhasrat mencari tahu. Itu pun karena dipicu. Bukan karena kesadaran dari
dalam. Artinya, kadang motivasi atau dorongan dari eksternal itu diperlukan. Sehingga
muncul apa yang disebut motivator.
Dulu, pernah marak yang namanya motivator ini. Banyak
acara-acara instansi yang mengundang motivator. Ada pula acara di tivi. Artinya,
sudah banyak orang yang mengikuti dan mendapatkan paparan motivasi. Apakah kemudian
itu berdampak bagi peningkatan kualitas hidup? Apakah kinerjanya meningkat? Apakah
hidupnya bahagia? Menjadi sukses? Anda sudah tahu. Entahlah.
Harapannya adalah semoga memberikan dampak. Kalau tidak,
sungguh disayangkan. Karena acara-acara itu juga relatif mahal.
Kenyataannya, bagi sebagian besar orang, motivasi terpuncak
adalah uang. Secara eksplisit mengisyaratkan bahwa setiap orang ingin mencapai
keinginannya. Untuk itu dibutuhkan uang. Alias, uang menjadi cara paling ampuh
untuk mewujudkan keinginan. Setidaknya, untuk hal-hal yang berkaitan dengan
kesenangan.
Setiap orang kemudian termotivasi untuk mencari uang. Bahkan
dengan segala cara. Judol adalah bukti. Belum lagi korupsi. Yang tentu saja
jalan terbaik dan terhormat untuk mencari uang adalah dengan bekerja. Saya anggap
berinvestasi juga bagian dari bekerja itu. Saya tambahkan kalimat ini agar anda
tidak mendebat.
Masalahnya, antara penawaran dan permintaan sulit mencapai
titik keseimbangan. Tapi bukan berarti tidak bisa. Pemerintah terus berusaha
keras untuk meningkatkan penawaran itu. Mari kita tunggu. Untuk itu, bagi yang
sudah bekerja dan bisa mendapatkan uang, perlu ingat akan hal itu. Bahwa masih
ada gap, dimana permintaan lebih banyak daripada penawaran. Sehingga akan
menjadi lebih bersyukur dan termotivasi untuk bekerja dengan lebih baik lagi.
Bagi mereka yang belum mendapatkan “penawaran”, pada
akhirnya mesti berusaha sendiri. Untuk menciptakan penawaran bagi dirinya
sendiri. Karena itulah, pemerintah berupaya keras memfasiltasi. Dengan kredit
modal kerja. Yang bersubsidi. Bahkan ada pemda yang berinovasi menggulirkan kredit
modal tanpa bunga alias 0%. Tentu, kita berharap inisiatif ini juga dilakukan
di daerah lain. Sehingga masyarakat tidak terjebak oleh rentenir dan pinjol
ilegal. Ini juga bagian dari ikhtiar menuju akses keuangan yang inklusif.
Topik yang juga menarik dari diskusi dua orang itu adalah
tentang AI. Backoffice akan hilang, digantikan AI. Katanya. Ucapan itu bisa
kita respon sebagai peringatan. Sekaligus menjadi pemicu sebuah gagasan. Saya berusaha
mencari tahu apa saja backoffice itu. Ketemulah ini: administrasi keuangan &
akuntansi; pengolahan data pelanggan; manajemen SDM; layanan pelanggan berbasis
sistem; pengolahan dokumen & laporan.
Bagi unit yang masih memiliki backoffice, tentunya mesti
mulai berpikir. Jika selama ini sumber daya lebih banyak terkuras untuk
pekerjaan backoffice itu, kini sudah ada solusi mujarab. Yakni AI. Dan itu bisa
mulai dicoba untuk diterapkan.
Tak bisa dipungkiri, ini agak kontradiktif dengan kondisi “permintaan
lebih tinggi daripada penawaran”. Ada kekhawatiran penerapan AI pada backoffice
akan semakin mengurangi penawaran, padahal permintaan terus meningkat. Atau jangan-jangan,
kondisi saat ini sudah merupakan akibat dari AI itu. Artinya, lapangan kerja
yang ada sudah diambil alih oleh AI.
Bagaimanapun ini memang tidak mudah. Jika menerapkan AI, unit
yang punya backoffice perlu memikirkan: dikemanakan orang-orang yang selama ini
mengerjakan. Ada gagasan: mereka diarahkan untuk peran yang lebih strategis. Seperti
mengelola AI. Atau memastikan sistem berjalan dengan baik. Untuk itu, diperlukan
upgrade skill. Ke bidang yang lebih kreatif, analitis. Dan berbasis pengambilan
keputusan. Agar tetap relevan di era AI.
Begitulah. Ini juga menjadi tantangan leadership. Di semua institusi. Untuk bisa memahami dan konsen dengan hal itu, diperlukan kompetensi. Bagi leader. Yang menurut kajian LAN adalah berpikir strategis. Salah satunya.