Kain putih
-(Selasa, 25 Maret 2025)-
Ada beberapa lintasan ide muncul di kepala saya. Tadi saat tarawih, timbul pikiran untuk menulis tentang kain putih panjang dengan lebar dua setengah jengkal tangan saya. Yang digelar untuk tempat sujud jamaah. Di shof depan atau beberapa shof bagian depan. Nyaris semua masjid yang pernah saya kunjungi disini, digelar kain putih itu. Terutama saat sholat berjamaah. Sehabis itu akan digulung. Meskipun masjid itu sudah ada karpet, tapi tetap digelar kain putih itu.
Saya belum pernah bertanya, apa latar belakang, sejarah atau filosofinya. Saya hanya menebak. Sedikit menganalisis.
Pertama, kain putih itu akan meringankan jamaah. Jamaah tak perlu lagi bawa sajadah. Walau tetap bawa sajadah tidak dilarang. Kain putih itu berfungsi sebagai alas sujud. Dengan kain putih itu setidaknya bisa membuat bagian tempat sujud menjadi lebih lembut. Sehingga tidak cepat membuat jidad menjadi gosong.
Saya pernah lihat, karpet masjid yang karena sudah terlalu lama, hingga bagian lembutnya sudah berkurang. Atau malah sudah menjadi keras. Sehingga ketika dipakai buat sujud, apalagi kalau sujudnya lama, ya dalam hitungan seminggu sudah bisa membuat gosong jidad.
Selain itu, dengan tidak membawa dan memakai sajadah, barisan jamaah menjadi lebih rapi, lurus dan lebih rapat. Berbeda ketika setiap jamaah bawa sajadah masing-masing. Yang sajadahnya itu lebar. Akibatnya jarak antar jamaah itu menjadi sangat longgar. Alias kurang rapat.
Kedua, dengan adanya kain putih yang hanya digelar saat akan digunakan untuk sholat jamaah, kebersihan tempat sujud itu terjamin. Kalaupun misalnya ada kotoran cecak, dll, sudah tertutupi oleh kain putih itu.
Ketiga, dengan kain putih itu barangkali membuat sholat lebih khusu’. Ketika sholat, pandangan kita kebawah depan. Dan yang terlihat adalah warna putih itu. Berbeda dengan sajadah, yang warnanya bisa beraneka dengan corak atau gambar yang beragam. Yang barangkali hal itu memicu pikiran untuk melayang-layang memikirkan gambar dan corak itu. Atau memicu ingatan atau imajinasi liar lainnya. Walaupun sebenarnya tak ada jaminan, warna putih tak membuat pikiran mengembara. Tapi, setidaknya sudah ada upaya, agar sholat lebih khusu’.
Soal kain putih itu adalah ide pertama. Sedangkan ide kedua tulisan adalah tentang amplang. Tadinya akan saya mulai dari berbagai jenis kerupuk yang tak lekang oleh jaman. Alias tidak terdisrupsi. Pun dengan amplang itu. Tapi seingat saya, dulu ada nama lain dari amplang. Yaitu kuku macan. Karena bentuknya mirip kuku macan. Katanya. Karena harimau alias macan itu sudah hampir punah dan jarang kita temui, lambat laun imajinasi tentang kuku macan itu sulit muncul dalam ingatan orang-orang. Sehingga istilah kuku macan tergeser dan terlupakan. Yang tentu saja, amplang ini menjadi oleh-oleh khas. Yang tentu hari-hari ini akan banyak dicari.
Tapi, soal amplang ini, saya simpan dulu buat nanti.