Bermusafir
-(Jumat, 28 Maret 2025)-
Jarum jam belum juga menunjukan pukul 4 pagi. Antrian pemeriksaan penumpang sudah mengular. Saat lewat di depan counter cek in tadi, juga terlihat antrian panjang di salah satu jurusan. Ada jadwal penerbangan yang memaksa para penumpang datang pagi-pagi buta ke bandara.
Di depan saya ada seseorang yang harus bolak balik diperiksa. Tubuhnya berbunyi. Ada barang yang semestinya dilewatkan pemeriksaan. Agar tidak terjadi hal begitu, saya biasanya sudah menyiapkan diri. Dompet, jam tangan, HP sudah saya masukan ke tas. Sejak sebelum ke tempat pemeriksaan. Saya juga sengaja tak pakai ikat pinggang. Karena memang sudah lama saya tak pakai lagi. Sejak ada pakaian seragam yang tak mengharuskan memasukan bagian bawah baju ke celana. Juga sejak peduli dengan tampilan. Bagian depan agar tetap terlihat rata.
Setelah berhasil melewati pemeriksaan, saya bergegas dengan langkah cepat menuju waiting room.
Naik apa Pak. Seseorang tiba-tiba menyapa. Langkah kaki saya rem. Gas saya kurangi. Membersamainya. Saya naik L, mau ke S. Jawab saya.
Saya tanya balik. Yang akhirnya saya bisa membayangkan bagaimana perjalanan panjang yang harus dia tempuh. Padahal sebenarnya ada pesawat langsung ke kotanya. Tapi kehabisan tiket. Saya berusaha menghibur. Menguatkan dia.
Saya menuju mushola. Terlihat sedang berlangsung sholat subuh berjamaah. Sudah akan selesai. Saya dan beberapa orang menunggu. Untuk kloter berikutnya.
Saya bergerak menuju tempat imam. Berinisiatif untuk jadi imam. Tanpa persetujuan jamaah. Yang sebenarnya mungkin kurang tepat. Tapi, saya punya alasan untuk menjadi imam di tempat-tempat begini. Khususnya di bandara atau stasiun. Dan juga mall.
Ada pengalaman. Waktu itu imam membaca surat panjang, padahal sebagian jamaah sudah diburu-buru untuk segera naik. Bahkan sudah terdengar pengumuman kereta akan segera berangkat.
Selain itu, kadang masih ada orang lain yang antri untuk sholat. Karena tempatnya sempit. Mesti bergantian.
Jadi, menurut saya di tempat-tempat begitu, panjangnya sholat bisa menyesuaikan keadaan. Ada banyak pilihan surat-surat pendek yang insyaallah sholat kita tetap sah. Apalagi sedang kondisi musafir. Yang kita diberi keringanan. Yang 4 rakaat saja boleh dijamak jadi 2.
Maka, di sholat subuh itu saya membaca surat-surat pendek saja. Alfalaq dan Annas.
Jadi, saya berusaha menutup kemungkinan imam membaca surat-surat panjang. Karena saya cuman hafal yang pendek-pendek.
Begitulah. Berdiri di depan sebagai imam itu punya tantangannya sendiri. Kadang ada godaan untuk menunjukkan kemampuan. Dan hafalan. Alih-alih berniat untuk memberi contoh, jatuhnya malah riya. Tentu itu asumsi saya, yang semoga tidak benar. Yang itu didasarkan pada apa yang saya lakukan. Dulu.