Tarawih bahagia

-(Rabu, 12 Maret 2025)-

Bagi saya dua pilihan itu sama-sama bagus. Masing-masing punya dasar. Dan sudah menjadi hal yang umum bagi umat. Karenanya, saya tidak fanatik pada satu pilihan. Mau paket tarawih yang 23 rakaat atau 11 rakaat. Saya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Yang pada umumnya saya memilih 11 rakaat. Karena lebih singkat dan cepat. Adakalanya itu sebenarnya yang jadi alasan utama. Hanya saja, tak mau mengakui dan berargumen bahwa pilihannya lebih kuat dasar hukumnya. 

Biasanya setelah 8 rakaat, saya akan mundur dan pergi meninggalkan jamaah tarawih di "langgar" itu. Sebuah kosa kata pada masa kecil di kampung dulu, yang sekarang sudah hilang berganti nama menjadi musholla, yang kemudian disini saya menemukan kembali kata itu masih umum dipakai. Sesampai rumah saya akan lagsung sholat witir 3 rakaat.

Tapi, tidak malam itu.

Sejak berangkat ke langgar, rintik hujan mulai turun. Saya tetap nekat. Ada sebuah resolusi, tak ingin melewatkan tarawih. Sebagaimana puasa dan tadarus setiap hari. Selesai sholat isya, terdengar hujan agak deras. Selepas rakaat keenam tarawih, saya perhatikan hujan juga belum reda. Bahkan sampai selesai rakaat 8. Juga belum selesai hujan itu. Yang biasanya saya undur diri dari jamaah dan langsung pulang, malam itu saya putuskan mengikuti tarawih dan witir hingga selesai 23 rakaat. Berhasil.

Selesai berdoa yang dipimpin Pak Imam, para jamaah berdiri dan bersalaman hingga membuat satu lingkaran. Sambil mengucapkan shalawat. Tiba-tiba pada momen itu, ada perasaan bahagia yang menyentuh batin saya. Yang sulit dilukiskan dengan kata-kata (terdengar klise). Sejak malam itu, saya memutuskan untuk mengikuti tarawih hingga selesai 23 rakaat. Di langgar itu.

Mengapa bisa bahagia? Apa yang bisa membuat bahagia? Ini barangkali pertanyaan-pertanyaan esensial bagi setiap orang. Yang kadang, masih banyak yang belum bisa membedakan antara kebahagiaan dan kesenangan.

“Bahagia itu sederhana”. Tertulis caption pada sebuah postingan foto makanan dan minuman. Ada pisang goreng, singkong goreng dan secangkir kopi susu. Tentu saja, itu tak mungkin dilakukan oleh gen-z apalagi gen-alpha. Itu adalah perilaku para boomer atau setidaknya gen X. Benarkah itu potret kebahagiaan? Benarkah bahagia itu sederhana? 

Bukan. Itu sesungguhnya wujud kesenangan. Katanya. Ukuran kebahagiaan punya indikator sendiri. Berdasarkan beberapa faktor. Termasuk pendapatan per kapita, harapan hidup sehat, kedermawanan, korupsi yang rendah. Setidaknya itu yang dilakukan oleh satu lembaga dunia yang mengukur tingkat kebahagiaan di setiap negara. World Happiness Report 2024 menempatkan Finlandia sebagai juaranya. Menjadi negara paling bahagia. Berturut-turut selama 7 tahun. Bagaimana bisa? Tentu, kita ingin bisa seperti itu. Barangkali itulah yang mesti kita pelajari. Dan menjadi contoh untuk bisa diterapkan. Karena kita masih berada di urutan 80.

Kenyataannya, setiap orang mengejar kebahagiaan. Dengan mencapai tujuan hidupnya. Dengan kata lain: setiap orang berusaha menggapai tujuan hidup agar meraih kebahagiaan. Seperti, hidupnya akan bahagia ketika bisa meraih cita-citanya. Yang menjadi tujuan hidupnya. Tentu ini benar. Dan semestinya setiap orang melakukan itu. Mengejar cita-citanya. Setinggi langit. Hanya saja, apakah untuk bisa bahagia harus menunggu sampai terwujud cita-cita itu? Apakah orang yang sudah berhasil meraihnya, akan bahagia terus hidupnya?

Ada satu film yang mengisahkan seorang guru piano yang ingin menjadi musisi dan bisa bermain di sebuah pertunjukan musik. Di sekolah itu ia masih berstatus honorer. Karena dinilai bagus oleh pihak sekolah, ia ditawari untuk menjadi guru tetap. Ia terus berpikir dengan tawaran itu. Ibunya menyarankan untuk menerima tawaran itu. Tapi ia masih memikirkan cita-citanya untuk bisa bermain di pertunjukan. Jika dia menerima tawaran itu, berarti dia tak punya waktu lagi untuk aktivitas bermusik lainnya. Ia kemudian mendapat info bahwa ada satu grup band terkenal butuh seorang pianis. Ia mendatangi grup musik dan bertemu dengan pimpinannya. Untuk bergabung dan bisa ikut pentas. Awalnya pimpinan grup itu memandang sebelah mata, karena ia hanya seorang guru piano. Namun, setelah dites, ternyata permainannya bagus dan membuat takjub pimpinan grup. Akhirnya, ia diterima dan dijadwalkan akan pentas di gedung yang megah yang sudah lama ia cita-citakan.

Singkat cerita, mereka pun tampil di pertunjukan. Terdengar tepuk tangan meriah dari para penonton yang memenuhi gedung pertunjukan itu. Ia bahagia sekali, cita-citanya berhasil ia raih. Ia sudah sampai pada tujuan hidupnya. Selesai acara ia bertanya pada pimpinan grup. Lalu apa setelah ini? Keseruan apa lagi? Pimpinan itu menjawab. Ya besok kita akan main musik lain, pentas lagi, tampil di pertunjukan lagi. Lusa juga akan begitu, lusanya lagi juga begitu, lusa lusanya lagi terus begitu. Mendengar itu, ia sedih. Ia sudah membayangkan aktivitas berulang yang itu akan membosankan. Baginya. Padahal ia ingin menemukan keseruan di setiap hari. 

Mengetahui hal itu, pimpinan itu bercerita. Ada ikan tua dan ikan kecil di lautan. Ikan kecil bertanya. Apakau kau tahu dimanakah laut berada. Ikan kecil itu ingin sekali pergi kesana. Ikan tua menjawab. Ya ini, kita sudah berada di laut. Ikan kecil terus menyangkal, bahwa ini bukan laut, ini cuman air biasa. Kadang manusia mirip ikan kecil itu. Terlalu berambisi mengejar tujuan hidup, tanpa tahu apa hidup itu sebenarnya.

Ia termenung. Apakah ada yang salah dengan dirinya. Lalu, pianis itu mengingat kembali setiap momen dalam kehidupannya di masa silam. Momen-momen bahagia semasa kecil. Momen bahagia bersama ayahnya padahal hanya mendengarkan musik bersama, momen bahagia saat dia mengajar, momen bahagia saat menemani ibunya ke pantai, momen bahagia ketika minum kopi dan makan kue sendiri di café sambil memandangi jendela, momen bahagia saat main sepeda. 

Akhirnya ia sadar, apa tujuan hidupnya, apa yang harusnya ia cari selama ini. Apa yang bisa membuatnya bahagia. Ia hanya perlu menikmati menit demi menit setiap hidupnya.

Begitulah. Kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang kita pikirkan, tapi sesuatu yang kita jalani tanpa perlu menyadarinya sebagai "aku bahagia".

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi