Romantisasi lampau
-(Minggu, 16 Maret 2025)-
Suatu hari terjadi tabrakan. Korban langsung dikerubungi orang-orang. Datanglah seorang wartawan. Untuk membuatnya menjadi sebuah berita, ia perlu foto korban. Tapi, ia kesulitan mengambil gambar korban, karena terhalang banyak orang. Ia punya akal. Ia berteriak: minggir. Siapa anda. Tanya orang-orang. Saya orang tua korban. Kata wartawan. Orang-orang pun minggir dengan muka keheranan. Setelah berada di depan korban, wartawan itu pucat pasi. Ia lihat korban itu. Seekor anak monyet. Padahal ia sudah mengaku sebagai orang tuanya. Wartawan itu ngeloyor sambil menahan rasa malu.
Itu adalah salah satu cerita dalam ceramah K.H. Zainudin MZ. Sebagai selingan. Yang tentu membuat audiens tertawa. Yang memang gaya ceramah beliau kerap membuat gerr jamaah. Tidak sekedar cerita lucu. Tapi beliau juga menyampaikan hikmahnya. Yaitu jangan asal ngaku-ngaku, kalau memang belum tahu. Akhirnya jadi malu. Atau maksud hati untuk ambil keuntungan dengan berbohong, justru malah menanggung malu.
Saya mendengar ceramah itu tadi pagi. Pada saat makan sahur, saya buka YT. Di beranda muncul channel rekaman pengajian Almarhum. Saya putar. Pada momen itu, saya kembali mengingat masa kecil dulu. Pada satu kesempatan bulan ramadhan, ada siaran radio berisi ceramah K.H. Zainudin MZ. Pada waktu sahur. Saya rutin mendengarkan. Hampir setiap hari.
Romantisasi masa lalu. Barangkali itu istilah yang sedang mendera saya. Yang itu adalah bagian dari kesenangan orang-orang yang sudah senior. Atau mereka yang sudah berangkat senja. Gejala yang umum dan wajar kita temukan dalam kehidupan sehari-hari ketika dalam percakapan atau diskusi. Orang-orang senior gemar menceritakan kejadian dan pengalaman masa lalu. Barangkali ia sedang menunjukkan siapa dirinya. Masa lalunya. Yang begitu berharga baginya. Atau punya maksud baik agar pengalaman itu menjadi pelajaran bagi yang mendengarkan. Yang biasanya itu ditujukan kepada generasi muda.
Hanya saja, yang terjadi adalah gap imajinasi dan pemikiran antar generasi itu. Alias tidak nyambung. Karena perbedaan konteks dan situasi yang dialami. Itulah yang menjadi tantangan saat ini, ketika kita memikirkan bagaimana kelanjutan atau masa depan sebuah organisasi. Terbersit kekhawatiran atas masa depan, setelah menghadapi kenyataan sekarang. Tak seperti yang dialami dan dilakukan orang-orang jaman dulu. Dengan kata lain, ada gap ekspektasi. Apa solusinya? Komunikasi. Katanya.
Saya kira jalan tengah adalah yang terbaik. Semuanya perlu menuju ke tengah. Untuk mencari titik keseimbangan. Masing-masing generasi mesti saling menyadari adanya perbedaan. Lalu, sama-sama saling memahami satu sama lain. Untuk itu, resep dari Steven R. Covey tentulah jitu. Ada di bukunya: 7 kebiasaan yang efektif. Prinsip mendengarkan dulu, baru didengarkan. Mengerti dulu, baru dimengerti. Sebuah kebiasaan yang mudah diucapkan, tapi rasanya sulit untuk dijalankan. Di jaman dimana setan gepeng selalu berada di genggaman. Atau jangan-jangan prinsip itu sudah tak lagi relevan di masa sekarang, karena itu datang dari masa silam.
Begitulah. Bahkan dalam merumuskan solusi masa kini, kita masih suka menarik-narik solusi masa lalu.
Ada lagi yang menarik dari ceramah itu. Beliau mengatakan kita ini seperti daun kering. Mudah dikumpulkan tapi sulit diikat. Berisik dan mudah terbakar. Meskipun ceramah itu sudah bertahun-tahun yang lampau, nampaknya ucapan beliau itu masih relevan. Dengan kondisi saat ini. Yang dengan media sosial, perumpamaan itu makin nyata adanya. Dan itu realita yang harus dihadapi. Yang jika itu sudah berlebihan tentu akan menjadi persoalan. Laksana api dalam sekam. Untuk itu, perlu dibawa kembali ke tengah.
Kunci utamanya ialah peningkatan kualitas manusia. Melalui pendidikan yang bermutu. Tidak bisa tidak. Artinya, pendidikan harus menjadi prioritas. Soal ini, rasanya tak perlu lagi ada kajian atau seminar. Semua sudah sepakat dan sudah dicontohkan oleh negara-negara maju. Kini saatnya untuk bertindak.
Dan itu harus dimulai dari pendidikan yang berkualitas untuk anak-anak.