Melampaui minyak
-(Senin, 10 Maret 2025)-
Data is the new oil. Saya kira, sudah lama kita mendengar kalimat itu. Karena ungkapan itu muncul sejak tahun 2006. Ini tentu sebuah analogi. Betapa berharganya data itu. Sebagai minyak baru. Dalam beberapa perspektif analogi itu tepat. Jika kita terus telisik, ada yang kurang pas. Misalnya, minyak bumi adalah sumber daya yang terbatas. Ia akan habis. Sementara, data tak akan pernah habis. Volumenya terus meningkat. Ditinggal tidur pun data terus bertambah. Artinya, jangan-jangan data ini melampaui analogi minyak. Sehingga begitu berharga.
Tapi, sejauh ini apa respon dan aksi kita. Apakah kita sudah melangkah untuk mengejawantahkan itu. Sudahkah data telah memberikan manfaat bagi kita.
Google adalah contoh. Betapa ia mengeruk keuntungan dari big data. Beberapa startup juga telah memanfaatkan data perilaku pelanggan untuk mengembangkan bisnisnya. Yang tadinya hanya bisnis transportasi kemudian merambah ke pemberian kredit. Setelah mempelajari perilaku konsumsi para pelanggan.
Apalagi dengan teknologi AI, data dapat dimanfaatkan untuk banyak hal. Melakukan prediksi, beragam analisis, dan merumuskan kebijakan.
Saya membayangkan ini. Selama bulan ramadhan, di satu wilayah mestinya bisa dihitung berapa kebutuhan tepung, beras, gula, minyak goreng, yang dikonsumsi masyarakat. Melihat pola konsumsi warga, dimungkinkan jumlahnya meningkat dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Berdasarkan data itu, dengan teknologi AI, barangkali kita bisa memprediksi peningkatan jumlah penderita gula dan kolesterol. Tidak saja data kebutuhan bahan pokok itu bermanfaat untuk pengendalian inflasi, tapi bisa juga digunakan untuk kebijakan penanganan kesehatan masyarakat. Berapa jumlah kebutuhan obat diabet dan kolesterol yang mesti disediakan. Hasil prediksi ini barangkali juga bisa dimanfaatkan untuk premi asuransi kesehatan.
Kita juga bisa membayangkan seperti ini. Saya kira di setiap instansi pemerintah sudah menerapkan absensi elektronik. Masuk kantor dan pulang kantor. Dari data kehadiran ini, kita bisa melihat pola kehadiran para pegawai. Apakah secara umum para pegawai sudah menaati jam kerja. Jam berapa para pegawai hadir di kantor, jam berapa pulang. Apakah hadir ontime atau telat. Apakah pulang tepat waktu atau nambah lembur. Dari data jam lembur kita juga bisa melihat pola dan perbandingannya. Misalnya di beberapa unit, bisa dibandingkan mengapa di unit A ada kerja lembur, sedangkan di unit B tidak ada, padahal beban kerja dan jumlah SDM nya relatif sama. Lalu, bisa dicek kinerja unit itu. Apakah unit yang banyak lemburnya lebih bagus kinerjanya, atau malah justru sebaliknya. Dari data kehadiran, misalnya ternyata banyak yang telat, maka bisa segera diambil kebijakan. Apakah akan menerapkan apel pagi setiap hari, atau justru jam masuk kerja yang perlu dimundurkan. Dari perbandingan jam lembur, misalnya juga bisa digunakan untuk melihat apakah lembur ini masih relevan atau ditiadakan.
Pun kita bisa membuat imajinasi begini. Dari data google mobility, kita bisa melihat kemana pergerakan warga di satu daerah selama weekend. Apakah hanya berdiam diri di rumah, ataukah pergi ke taman untuk olah raga. Atau pergi keluar kota untuk tamasya. Berapa persentasenya? Dari data-data itu, kemudian kita bisa melihat pola atau gaya hidup warga. Dari data ini, barangkali pemda bisa mempertimbangkan apakah perlu menambah tempat wisata, tempat olah raga. Atau misalnya, ternyata banyak warga yang pergi keluar kota untuk jalan-jalan ke mall. Jika seperti itu, mengapa tidak mendorong investor untuk membuat mall. Sehingga konsumsi masyarakat tetap berputar di daerah itu.
Anda mungkin membayangkan ini pula. Dari data warga yang datang berobat ke puskesmas dan RS, barangkali bisa diolah menjadi banyak informasi bagi pimpinan daerah. Penyakit apa yang banyak diderita masyarakat, obat apa yang digunakan. Ketika diketahui di satu kecamatan banyak penderita gula, bisa dianalisis mengapa begitu. Strategi pencegahan apa yang bisa dilakukan. Apakah jumlah dokter spesialis tertentu sudah memadai untuk menangani penyakit. Dan lain sebagainya.
Banyak hal yang bisa kita bayangkan dengan data-data itu. Dan ketika kita bisa memanfaatkan dengan baik, itu akan menjadi senjata untuk meraih banyak keuntungan.
Tentu itu tergantung good will dari pemimpinnya. Dalam konteks daerah, berarti para pimpinan daerah. Bagaimana mewujudkan kesadaran tentang arti penting data pada para pemimpin daerah?
Alih-alih, setiap semester atau setiap tahun menyampaikan kajian dan rekomendasi, mengapa kita tidak mendorong setiap daerah mampu melihat dirinya sendiri dari data-data yang mereka miliki. Yang dengan kedalaman data yang mereka punya, barangkali potret dan insightnya lebih presisi.
Begini gambarannya. Saya berharap ada satu institusi yang menginisiasi kegiatan sharing knowledge terkait pemanfaatan big data daerah dengan AI. Dengan narasumber dari UGM atau Unair, dimana di kedua perguruan tinggi itu sudah ada jurusan terkait AI. Kegiatan dilaksanakan secara daring. Pesertanya adalah terutama para pimpinan daerah. Selain paparan tentang gambaran AI, manfaat, dan contoh penggunaannya, juga disampaikan usulan project-project AI di lingkungan pemda. Jadi, langsung menunjukan hal yang kongkret. Sesi diskusi tentu perlu dialokasikan waktu lebih banyak. Harapannya, upaya ini dapat memantik kesadaran dan konsen pimpinan daerah.
Begitulah. Bagaimanapun, ini juga menjadi salah satu cara agar para leader memiliki kompetensi berpikir strategis. Yang berbasis data. Bukan sekedar instuisi.