Memori tradisi

-(Rabu, 19 Maret 2025)-

Saya perhatikan kertas yang dibawa anak kecil itu. Kertas yang terlihat ada bekas lipatan. Yang karena lipatan itu sudah berkali-kali dibuka dan dilipat lagi, hingga membuat bagian yang dilipat itu lepas satu sama lain. Nyaris kertas itu terbagi dua. Untung kedua bagian pinggirnya masih terhubung. Kertas itu berisi tabel aktivitas harian selama bulan puasa. Mulai dari berpuasa, sholat berjamaah, tadarus dan juga tarawih. Yang merupakan tugas dari sekolahnya, untuk melakukan ceklis. Setelah melaksanakannya. Yang dibuktikan dengan paraf dari Pak Imam. Maka, setelah selesai sholat tarawih, anak-anak kecil itu menyerbu dan mengerubungi Pak Imam untuk minta paraf di kertas itu. Setiap malam. 

Pemandangan itu mengingatkan saya dahulu. Semasa masih SD. Saya juga melakukan itu. Setiap hari. Setelah sholat tarawih saya akan mendatangi Pak Imam untuk minta paraf. Siang hari setelah sholat dhuhur, juga pernah. Saya turut berjamaah di masjid dan menunggu Pak Imam selesai wirid dan sholat sunnah. 

Dengan tugas ceklis harian itu, barangkali dimaksudkan untuk melatih dan mendisiplinkan anak-anak. Termasuk melatih kejujuran. Setelah selesai bulan puasa dan masuk sekolah, kertas ceklis harian itu akan dikumpulkan. Dulu saya juga menyerahkan daftar itu ke guru. Yang saya tak punya arsip atau salinannya. Sehingga tak ada kenangan fisik. Hanya memori yang tersimpan di otak saya. 

Saat menulis ini saya jadi berpikir, andaikan dulu seperti ini. Setelah dikumpulkan, guru akan memberi nilai, menuliskan pujian dan pesan serta tanda tangan. Pada kertas ceklis itu. Lalu dikembalikan ke anak-anak untuk ditunjukkan ke orang tua. Lalu, dilaminating seperti ijazah. Disimpan rapi bersama dokumen keluarga lainnya. Dengan begitu, barangkali saat ini saya masih bisa melihat kertas itu dan membuka memori masa kecil atas tugas yang dulu pernah saya lakukan. Yang tercantum dalam daftar itu.

Untuk sekarang, saya kira bisa dilakukan. Dengan lebih mudah. Tinggal difoto, lalu disimpan di medsos. Bertahun-tahun kemudian bisa ditunjukan ke anak-anak. “Ini dulu waktu bulan ramadhan, waktu kamu kelas 4, kamu berhasil menyelesaikan tugas ini. Puasa, sholat jamaah, tarawih dan tadarus, juga infaq. Lihat, full ceklisnya, tidak ada yang bolong-bolong. Kamu hebat!”

Niscaya, memori dan pengalaman masa kecil itu akan terus dikenang menjadi sesuatu yang indah bagi anak-anak. Kenangan ketika ia ikut mengucapkan sholawat sambil berteriak pada jeda sholat tarawih. Ingatan saat ia bisa azan di langgar. Kesan waktu ia ikut tadarus sehabis menikmati snack tarawih, dan lain-lain. Yang boleh jadi kenangan religi itu akan “menyelamatkan” dan menjaga dia dari arus deras kehidupan. Atau ketika ia terjerembab, kesan itu yang akan menolongnya kembali ke “jalan yang benar”. 

Kenyataannya, tugas yang dulu pernah saya kerjakan di masa kecil, sampai sekarang masih tetap ada. Karena dianggap bagus, hal yang sama terus dilakukan. Setelah bertahun-tahun dan berganti generasi. Rupanya, ada hal-hal di dunia ini yang tidak banyak berubah. Untuk sesuatu yang bermanfaat dan dirasa baik memang perlu dilestarikan dan menjadi tradisi.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi