Mudik bahagia

-(Kamis, 27 Maret 2025)-

“Uwong koyo gabah diinteri.” Ungkapan Jawa. Yang ini sudah berlangsung. Terutama besok. Yang dari jakarta akan berbondong-bondong keluar. Ke jabar, jateng, jatim, jogja. Pun ada yang ke luar jawa. Yang dari kalimantan pergi ke jawa. Dari jawa ke sulawesi. Juga sebaliknya. Banyak orang pergi ke kampung halaman. Alias mudik. Mulih dilik. Pulang sebentar. Untuk beberapa hari, lalu balik lagi. 

Pada situasi seperti itu, selain persiapan fisik, juga butuh mental. Khususnya mental kesabaran. Bagaimana tidak? Anda sudah tahu. Tahun lalu saya mengalaminya. Tapi, untungnya sebagian orang cepat melupakan kegetiran. Barangkali anjuran untuk lebih baik menerima keadaan, juga terbukti manjur untuk mengurangi stres. 

Karenanya, evaluasi dan perbaikan terus dilakukan. Oleh pemerintah. Ada ide-ide kreatif untuk mengurai kepadatan di jalan. Di satu waktu. Seperti WFA. Yang membuat girang bagi sebagian orang. Untuk bisa lekas pulang. 

Artinya, mudik sudah menjadi isu. Dimana pemerintah konsen menanganinya. Agar berjalan lancar dan aman. 

Mudik. Sebagian orang sangat bersemangat untuk segera menjalaninya. Mereka sudah membayangkan akan bertemu dengan keluarga. Sowan pada orang tua. Kembali bersua dengan sanak saudara. Dan juga reuni dengan teman-temannya. Mereka juga sudah membayangkan betapa bahagia. Saat berkumpul halal bi halal keluarga. 

Apapun kata ekonom, mudik dan libur idulfitri akan tetap ramai. Rumah makan lejen, tempat wisata, kedai kuliner, akan banyak dikunjungi. Saya bisa membayangkan bagaimana ramai dan padatnya kota itu. Yang kami berkunjung akhir Januari lalu saat libur imlek. Sudah sangat ramai begitu. Apalagi nanti saat idulfitri. 

Mungkin para pemudik itu sudah punya list, tempat kuliner yang akan dikunjungi. Yang ternyata isi list-nya ada yang sama. Hari dan jam-nya. Akibatnya, tempat itu penuh, berjubel, dan antri. Tapi, disitulah barangkali keseruannya. Yang lebih emosional, lebih berwarna, lebih greget. Dibandingkan rutinitas yang sudah dijalani berbulan-bulan, seperti sisifus itu. 

Maka, saat itulah peredaran uang akan menjadi lebih merata. Tidak tersentral di kota-kota besar. Uang akan turun dan beredar di kampung-kampung dan dusun-dusun. Nyaris semua orang akan pegang uang. Tunai. Kertas. Baru. Beragam warna. Coklat, hijau, biru dan merah. Dari anak-anak sampai kakek nenek. 

Begitulah. Meski harus berjuang melakukan perjalanan, tapi saat tiba di tujuan, semuanya akan lunas terbayar oleh rasa bahagia. Yang dengan kalimat klise: sulit dijelaskan dengan kata-kata. 

Nah, inilah persoalannya. Karena dari kata mudik sendiri, berarti pulang sebentar, kelak pada waktunya harus balik ke tempat bekerja. Yang sebagian orang akan nampak lesu, kurang semangat. Tidak seperti saat akan berangkat mudik. Mengapa? Ada beragam alasan. 

Bila benar begitu, ingatlah pesan ini: Jika balik ke tempat kerja terasa berat, maka ingatlah akan cicilan.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi