Terlelap di Harom

-(Rabu, 11 Juni 2025)-

Pukul 21.30 kami masih berada di Masjidil Haram. Saya duduk-duduk di pelataran halaman masjid, sembari menunggu dia yang sedang pulas tertidur. Ada satu keinginannya selama di tanah suci ini: setiap hari ia ingin melaksanakan salat fardhu di Masjidil Haram dan melihat Ka’bah. “Mumpung di sini,” katanya, “kapan lagi bisa salat dan beribadah di masjid suci ini?”

Hari itu, belum ada layanan bus bagi jamaah. Bus-bus masih terfokus untuk melayani jamaah yang pulang dari Mina. Setelah semua jamaah selesai, baik yang memilih nafar awal maupun nafar tsani, barulah layanan bus reguler akan kembali beroperasi.

Sementara itu, mengandalkan taksi pun bukan pilihan yang ideal. Selain karena polisi melarang kendaraan mendekati area masjid—sehingga penumpang diturunkan cukup jauh dari pintu masuk—ongkosnya pun sering kali tidak masuk akal. Barangkali ini kesempatan para sopir untuk mencari rezeki lebih, dan kami pun pernah mengalaminya, tepat sehari sebelumnya saat ingin segera melaksanakan tawaf ifadah. Berapa pun nominal yang sopir sebutkan, dengan berat hati kami bayar juga.

Karena itu, di hari terakhir tanpa layanan bus ini, kami memutuskan untuk berjalan kaki dari hotel menuju Masjidil Haram. Perjalanan ini sebenarnya sudah pernah kami lakukan sebelumnya, sepulang dari salat Jumat. Meski melelahkan, tapi ada semacam ketenangan yang kami rasakan di sepanjang langkah menuju masjid suci.

Kenyataannya, Masjidil Haram seperti tak pernah tidur. Sepanjang 24 jam, masjid ini terus dipenuhi para jamaah yang ingin bertawaf, salat, dan beribadah di dekat Ka’bah. Di pelataran masjid, saya melihat banyak orang yang berbaring dan tidur. Mungkin mereka sedang menunggu malam datang untuk salat tahajud, atau mungkin karena hotel tempat mereka menginap terlalu jauh dan mereka ingin tetap menjaga salat fardhu di masjid ini. Mungkin juga mereka berniat untuk beritikaf, menyerahkan waktu dan hati sepenuhnya kepada Allah.

Langit malam begitu bersih, tanpa awan, tanpa mendung. Tak ada kekhawatiran akan hujan, meski siang hari terasa sangat terik. Tetapi itu tak menyurutkan semangat para jamaah untuk terus datang ke masjid.

Malam pun semakin larut, merangkak menuju tengah malam. Tapi justru saat itu, saya melihat sejumlah rombongan jamaah—termasuk dari Indonesia—mulai bergerak menuju satu tujuan: pelataran Ka’bah. Dugaan saya, mereka hendak melaksanakan tawaf ifadah yang kemudian akan dilanjutkan dengan sai haji.

Begitulah suasana Masjidil Haram, suasana yang mungkin kelak akan sangat saya rindukan. Sebagian orang bahkan mengaku seolah “kecanduan” untuk bisa kembali ke tempat ini setiap tahun.

Dia masih terlelap di samping saya. Meski keinginannya untuk mendekati Maqam Ibrahim, Hijr Ismail, dan menyentuh dinding Ka’bah sudah tercapai, masih ada satu harapan yang belum terkabul: mencium Hajar Aswad. Barangkali saat tidur itu ia sedang bermimpi memeluknya. Semoga Allah memberikan kesempatan untuk mewujudkan keinginan itu.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi