Armuzna
-(Kamis, 5 Juni 2025)-
Tibalah kami di puncak ibadah haji—Armuzna: Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Barangkali, inilah pergerakan manusia terbesar di dunia menuju satu titik untuk melakukan satu ibadah yang sama. Bayangkan jutaan manusia dari berbagai bangsa dan bahasa, bergerak secara bersamaan dalam ruang dan waktu yang terbatas. Maka, tak terelakkan betapa hal ini menuntut manajemen kerumunan massa, manajemen transportasi, logistik, serta layanan kesehatan yang benar-benar andal dan tidak main-main.
Dari berbagai pemberitaan, kita telah mendengar skenario-skenario teknis dan strategis yang telah disiapkan oleh pihak penyelenggara haji. Semua ini tentu bertujuan untuk menjamin kelancaran pelaksanaan puncak haji. Maka, kita patut bersyukur dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas berbagai upaya perbaikan, penyempurnaan, serta inisiatif-inisiatif baru demi kenyamanan dan keselamatan jamaah. Jika pun masih ada tantangan, itu adalah sesuatu yang tak terhindarkan karena dinamika lapangan yang begitu kompleks. Namun demikian, hal itu sama sekali tidak mengurangi nilai dari segala hal baik yang telah dan sedang dilakukan pemerintah.
Pada tanggal 8 Dzulhijjah, bertepatan dengan Hari Tarwiyah, jamaah diminta untuk bersiap bergerak menuju Arafah. Proses ini sudah dimulai sejak pagi hari. Jamaah diberangkatkan secara bergelombang menggunakan bus, dengan urutan berdasarkan lantai hotel masing-masing. Ketika naik ke bus, para jamaah sudah dalam keadaan berihram dan telah berniat untuk berhaji.
Ada pula inovasi menarik dalam aspek logistik pribadi: jika sebelumnya jamaah hanya mengandalkan koper kecil, tahun ini mereka dibekali tas ransel khusus yang lebih praktis dan memudahkan dalam membawa barang-barang esensial.
Selepas dhuhur, sekitar pukul 1 kami menaiki bus yang langsung membawa kami ke Arafah. Pemerintah menetapkan skenario untuk melewatkan pelaksanaan tarwiyah di Mina. Pertimbangan ini mungkin diambil untuk menghindari kepadatan yang berlebihan dan risiko logistik lainnya. Meski begitu, bagi jamaah yang tetap ingin melaksanakan tarwiyah secara mandiri, mereka diminta untuk membuat surat pernyataan dan menanggung konsekuensinya secara pribadi.
Dalam konteks ini, kesadaran kolektif para jamaah untuk mengikuti program dan arahan pemerintah sangatlah penting. Ketaatan ini bukan hanya demi kelancaran ibadah masing-masing, tetapi juga demi keselamatan dan kenyamanan bersama. Keyakinan bahwa pemerintah terus mengupayakan yang terbaik diharapkan memberikan ketenangan batin bagi jamaah.
Begitulah. Betapa tak mudah mengatur jutaan jiwa dalam sebuah ritual yang sakral dan serentak. Namun lebih dari sekadar manajemen teknis, ibadah haji mengajarkan kita tentang keikhlasan, kesabaran, dan kebersamaan. Tentang bagaimana setiap individu harus melebur dalam barisan yang sama, berjalan dalam ritme yang seragam, dan menundukkan ego dalam kebersamaan.
Armuzna bukan hanya sebuah perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang menyatukan manusia dalam kerendahan hati di hadapan Tuhan. Dan di balik semua peraturan, sistem, dan pengaturan teknis itu, kita belajar bahwa kelapangan hati, kepercayaan, dan rasa syukur adalah bagian penting dari makna haji itu sendiri.