Kasur Arafah

-(Kamis, 19 Juni 2025)-

Saat itu saya berada dalam tenda di Padang Arafah, menanti waktu wukuf yang akan berlangsung esok harinya—sebuah momen puncak haji. Di sinilah jutaan jiwa berkumpul dalam kesamaan niat, merendahkan diri di hadapan Allah, memohon ampun, dan menaruh segala harapan kepada-Nya.

Namun, realita yang dihadapi di dalam tenda itu mengajarkan sesuatu yang lebih dari sekadar kesabaran.

Setiap jamaah mendapat jatah satu kasur tipis—lebarnya kira-kira selebar badan atau sekitar dua setengah jengkal tangan saya. Kasur-kasur itu ditata rapat berjejer tanpa sekat, tanpa celah. Tak bisa dihindari, tubuh bisa saling bersentuhan saat malam tiba, ketika jamaah terlelap.

Ketika ada yang ingin keluar dari tenda, jalannya pun tidak mudah. Beberapa kasur harus diinjak dengan sangat hati-hati, tentu dengan perasaan tak enak hati kepada sesama. Ini adalah ruang di mana privasi benar-benar dilepas, dan kenyamanan pribadi dikorbankan demi kebersamaan.

Namun, barangkali kondisi dalam tenda sudah diupayakan lebih baik dibandingkan yang dulu-dulu. Setidaknya sudah ada fasilitas pendingin ruangan. Setiap kasur telah dilengkapi dengan bantal, selimut, snack, serta payung untuk perlindungan saat keluar tenda. Botol-botol air minum juga tersedia di pinggir-pinggir tenda, siap mencegah dehidrasi di tengah panasnya cuaca. Pun soal makanan, jamaah tak perlu khawatir. Bahkan berlebih. Fasilitas untuk membuat minuman panas, seperti teh, kopi, juga tersedia di luar tenda.

Di tengah keterbatasan itu, barangkali jamaah dapat menemukan makna yang dalam. Bahwa ibadah haji bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga latihan batin. Ia melatih keikhlasan, membentuk kerendahan hati, dan mengikis ego. Tidur berdempetan dengan orang-orang yang baru dikenal, berbagi ruang, waktu, dan udara, mengajarkan makna ukhuwah yang tak bisa dipelajari di buku manapun.

Mungkin inilah bentuk nyata dari persamaan di hadapan Tuhan. Tak peduli latar belakang, jabatan, atau status sosial, semua manusia datang ke sini dengan pakaian ihram, tidur di kasur yang serupa, dan merasakan peluh perjuangan yang setara.

Di Padang Arafah manusia kembali pada hakikatnya: sebagai hamba. Dan dalam kebersahajaan itu, mungkin justru melahirkan rasa syukur yang mendalam. Bahwa kemewahan sejati terletak pada kesempatan untuk kembali kepada Allah dengan hati yang bersih dan jiwa yang lapang.

Semoga kesempitan hari itu menjadi jalan lapang menuju ridha-Nya.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

Pengembangan Organisasi

"Penajaman" Treasury Pada KPPN