Ziarah ke Rasulullah
-(Senin, 30 Juni 2025)-
Tempo hari saya menulis ini setelah selesai berziarah ke makam Rasulullah SAW. Sejak saya mulai antre masuk hingga keluar dari area makam, kira-kira saya memerlukan waktu lebih dari satu jam. Artinya, para jamaah harus benar-benar bersabar berdiri menunggu giliran. Begitu banyak jamaah yang antusias ingin mengucapkan salam kepada Rasulullah dan dua sahabatnya yang mulia, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. dan Sayyidina Umar bin Khattab r.a.
Biasanya, antrean panjang seperti ini terjadi usai shalat fardhu, karena mayoritas jamaah langsung melanjutkan ke ziarah. Jika datang di jam-jam lain, situasi relatif lebih lengang dan jalur ziarah bisa dilewati dengan lebih cepat. Namun, justru di situlah letak keistimewaannya: semakin panjang antrean, semakin panjang pula waktu kita berada di dekat makam.
Saat itu, ketika sedang dalam antrean, saya melihat seorang jamaah yang kelelahan. Ia keluar dari barisan dan berbaring di lantai. Melihat kondisi itu, saya merasa petugas keamanan tampak kesulitan berkomunikasi karena kendala bahasa. Saya pun spontan menghampiri. Petugas bertanya apakah saya orang Indonesia, lalu mempersilakan saya berbicara langsung dengan jamaah tersebut. Seorang petugas kebersihan memberinya air zamzam. Saya menanyakan keadaannya — katanya ia merasa pusing. Saya bertanya lagi apakah perlu bantuan medis segera, tetapi ia menjawab tidak perlu, hanya butuh beristirahat sejenak.
Tak lama kemudian, bapak itu bangkit dan berusaha kembali masuk antrean. Saya pun kembali ke barisan saya. Namun, beberapa saat kemudian, saya melihatnya kembali keluar dari antrean. Saya mendekat lagi dan menanyakan kondisinya. Ia berkata antrean masih panjang dan ia memutuskan untuk mundur saja dan kembali ke hotel untuk beristirahat. Petugas keamanan pun membantu membuka pintu darurat agar ia bisa keluar dengan mudah. Saya sempat menanyakan dari mana asalnya dan apakah ia sendirian, tetapi ia menolak diikuti karena katanya sudah ada temannya. Saya pun kembali ke antrean dengan perasaan lega dan berharap beliau baik-baik saja. Barangkali beliau hanya kelelahan karena mesti berdiri lama.
Saya sendiri berusaha setiap hari bisa berziarah ke makam Rasulullah. Beberapa kali saya mencoba datang sekitar jam sebelas siang, saat jamaah relatif sepi. Ziarah di jam lengang memang terasa lebih cepat dan nyaman. Namun, ternyata ada satu kekurangan — jika jalur ziarah kosong, kita tidak bisa berlama-lama di area makam karena petugas akan mengingatkan kita untuk segera berjalan. Berbeda halnya jika antrean cukup padat. Justru antrean membuat kita punya waktu lebih lama untuk mempersiapkan diri, berdoa di pinggir Raudhah, hingga akhirnya tiba di depan makam Rasulullah dan kedua sahabatnya.
Agar bisa mendapat posisi terbaik, saya biasanya mengambil barisan paling kiri saat antre. Saya berusaha bertahan di sisi kiri hingga mendekati makam, supaya posisi saya lebih dekat ke pagar pembatas. Ketika sudah dekat dengan Rawdah dan ada jamaah di belakang saya yang mulai tergesa-gesa mendorong, biasanya saya akan menoleh dan mempersilakan ia mendahului. Bukan karena saya ingin mendahulukannya, tetapi justru agar saya bisa sedikit memperlambat langkah, berlama-lama di sana, mengirimkan salam dan doa dengan lebih khusyuk.
Begitulah pengalaman dan suasana berziarah ke makam Rasulullah. Semoga kita semua kelak mendapat syafaat Beliau di Yaumil Akhir.