Merayakan perbedaan

-(Senin, 2 Juni 2025)-

Kenyataannya, perbedaan adalah sebuah realitas yang tidak bisa dihindari. Ia hadir dalam rupa-rupa bentuk: postur tubuh, warna kulit, cara berpakaian, bahasa, perilaku, hingga detil-detil kecil yang jika disebutkan satu per satu akan sangat panjang daftarnya.

Berada di kota suci ini, saya teringat pada beberapa film fiksi ilmiah seperti Star Trek dan Star Wars yang menampilkan kehidupan berbagai makhluk dari beragam suku bangsa dan planet. Di sana, perbedaan bukanlah sesuatu yang ditolak, melainkan diterima sebagai bagian dari lanskap kehidupan yang luas. Hal yang sama saya saksikan secara nyata di Masjidil Haram—bukan dalam bentuk alien atau makhluk asing, tetapi dalam rupa manusia dari penjuru dunia.

Bahkan dalam tata cara ibadah pun, yang sejatinya bersumber dari pokok ajaran yang sama, terdapat perbedaan di ranah cabang. Misalnya, sebagian jamaah shalat dengan tangan bersedekap, sementara ada yang tidak, berdiri tegak lurus seperti sikap siap saat upacara. Pemandangan ini, bagi sebagian orang, mungkin terasa janggal.

Contoh lainnya, saya melihat banyak orang memasuki Masjidil Haram dengan tetap memakai alas kaki—sepatu maupun sandal. Hal ini tentu terasa asing bagi sebagian besar jamaah Indonesia yang terbiasa melepas alas kaki sebelum masuk masjid. Karena itu, banyak dari mereka membawa alas khusus untuk shalat, terutama jika mendapatkan tempat di bagian lantai yang tidak berkarpet.

Keberagaman juga terlihat dalam cara berpakaian ihram, khususnya bagi pria. Meskipun secara prinsip kain ihram terdiri dari dua helai tanpa jahitan, saya menemukan variasi menarik—terutama pada bagian atasan. Beberapa jamaah mengenakan kain ihram dengan tambahan semacam kancing. Ada yang satu kancing, ada pula yang lebih dari satu, sehingga lebih praktis dan tidak mudah lepas saat dipakai. Dari pengamatan saya, ini umumnya bukan berasal dari jamaah Indonesia.

Identitas kelompok jamaah pun sangat beragam. Jamaah Indonesia biasanya mengenakan slayer sebagai penanda, dengan warna dan motif yang berbeda tergantung daerah asal atau kelompok bimbingan haji (KBIH). Sementara itu, jamaah dari negara lain ada yang menggunakan rompi sebagai identitas kolektif.

Satu hal yang cukup unik adalah kemudahan mengenali orang Indonesia hanya dari pakaian. Kemarin, saya mengenakan celana sarung, kemeja, dan songkok. Seorang pria Nigeria yang duduk di sebelah saya langsung menebak dengan tepat bahwa saya berasal dari Indonesia. Ternyata, sarung dan songkok sudah menjadi semacam identitas visual yang dikenal luas oleh umat Muslim dari berbagai negara.

Semua itu mengajarkan bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan kekayaan umat. Kesiapan batin untuk menerima perbedaan sangat bergantung pada luasnya wawasan dan bacaan seseorang. Pikiran yang terbuka menjadi fondasi penting dalam melihat keragaman bukan sebagai penyimpangan, melainkan sebagai anugerah. Dorongan untuk membuat orang lain mengikuti cara kita beragama harus dikikis habis. Memaksa keseragaman atas nama kebenaran seringkali lahir dari ketidaktahuan—dan mungkin juga karena kurang piknik.

Begitulah. Perbedaan adalah anugerah Tuhan yang hadir dalam rupa-rupa bentuk ciptaan-Nya. Menerima perbedaan sejatinya adalah menerima realitas kehidupan.

Di tanah suci ini, tempat semua manusia berdiri sejajar di hadapan Yang Maha Esa, saya menyadari satu hal penting: kesatuan tidak selalu berarti keseragaman. Dan menghargai perbedaan bukan hanya soal toleransi, tetapi juga soal kedewasaan spiritual.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi