Cahaya kebaikan
-(Minggu, 8 Juni 2025)
Barangkali memang kualitas para jamaah itu berada di atas rata-rata. Saya tidak melihat raut muka yang menunjukkan emosi atau tanda-tanda ketidaksabaran. Setidaknya, itulah yang saya saksikan dari para jamaah yang saya temui secara langsung.
Dengan kondisi kepadatan penghuni tenda yang luar biasa dan antrian panjang saat menuju toilet, para jamaah justru terlihat begitu sabar dan ikhlas dalam menjalaninya. Tidak terdengar keluhan, tidak terlihat gerutuan. Bahkan, dalam situasi yang bagi sebagian orang bisa memicu ketegangan, saya menyaksikan justru sebaliknya—kepedulian dan empati tumbuh di antara mereka.
Saya bahkan mengalami langsung sebuah kejadian kecil namun bermakna. Saat sedang mengantre toilet, seorang jamaah yang telah lebih dulu menunggu dengan tulus menawarkan gilirannya kepada saya. Mungkin ia menangkap gelagat saya yang mulai resah. Tentu saja saya menolak tawaran itu, dan mempersilakan dia untuk masuk terlebih dahulu. Tapi sikapnya itu membekas—ada kelembutan hati disana.
Tak hanya itu, percakapan dua orang di depan saya saat mengantre menunjukkan hal serupa: masing-masing berusaha mendahulukan yang lain. Ini bukan soal aturan antrean semata, tapi cerminan dari karakter—bagaimana seseorang menunjukkan empati dan kepedulian yang tulus terhadap sesama.
Ketika masih ada jamaah yang belum mendapatkan tempat di dalam tenda, beberapa orang dengan sukarela memberi tahu bahwa di sebelahnya masih ada ruang kosong. Padahal mereka bisa saja diam, lalu menggunakan ruang itu untuk memperluas tempat tidurnya sendiri dan merasa lebih nyaman. Tapi itu tidak dilakukan. Ada semacam kepekaan untuk berbagi. Ada keinginan tulus untuk meringankan beban orang lain.
Begitulah. Sebuah gambaran sederhana namun mendalam tentang para jamaah yang mungkin membuat sebagian orang merasa rindu—rindu pada suasana batin yang bersih, pada kebersamaan yang tulus, pada momen ketika manusia benar-benar saling menjaga.
Begitulah, dalam keterbatasan, justru tumbuh kelapangan hati. Dalam kelelahan, justru ada kekuatan yang saling menguatkan.
Mungkin inilah salah satu pelajaran spiritual yang tak tertulis dalam buku panduan haji—bahwa ibadah sejati bukan hanya soal ritual, tetapi tentang bagaimana kita memperlakukan sesama. Dan dalam situasi yang penuh tantangan itu, saya menyaksikan cahaya kebaikan dari hati para jamaah. Sebuah pengalaman yang tidak hanya menyentuh, tapi juga menuntun untuk menjadi manusia yang lebih lapang, lebih sabar, dan lebih peduli.