Jamaah kompak

-(Kamis, 26 Juni 2025)-

Kenyataannya, jamaah Indonesia itu paling kompak. Setidaknya, saya melihat ini dari beberapa fenomena menarik yang berulang saya temui selama ibadah haji.

Pertama, dari seragam yang dipakai. Ada yang disebut sebagai batik haji nasional—sebut saja begitu. Kali ini berwarna ungu. Batik ini umum dikenakan saat momen penting seperti keberangkatan dan kepulangan jamaah. Bahkan, ada pula rombongan yang tetap mengenakannya saat melakukan tawaf ifadah, tawaf wada, atau ketika berombongan masuk ke Raudhah di Masjid Nabawi. Kadang juga dipakai beberapa kali saat jamaah ke masjid.

Seragam ini tidak hanya menjadi penanda kebangsaan, tetapi juga memberikan rasa kebersamaan dan identitas. Di tengah jutaan jamaah dari berbagai negara, batik ungu itu seperti ‘bendera’ yang menyatukan dan memudahkan saling mengenali.

Kedua, ada pula seragam KBIH. Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) ini bahkan memiliki berbagai varian seragam. Ada batik KBIH, kaos KBIH, dan tambahan atribut seperti slayer, topi, peci, hingga jilbab. Bahkan saya pernah melihat ada yang membawa tas dengan tulisan KBIH. Uniknya, pada ihram pun, sering tampak penanda atau tulisan kecil yang menunjukkan identitas kelompok tersebut.

Tujuannya jelas: sebagai tanda pengenal agar lebih mudah mengenali anggotanya di tengah lautan manusia. Ini sangat penting, apalagi ketika jamaah berada dalam kerumunan besar. Identitas visual seperti seragam bisa sangat membantu dalam menjaga kebersamaan dan mencegah anggota kelompok, terutama para lansia, dari tersesat atau terpisah.

Ketiga, kekompakan itu terlihat saat tawaf dan sai. Khususnya ketika melaksanakan tawaf, banyak rombongan KBIH yang membentuk barisan 2–4 line ke belakang, di mana setiap orang saling memegang pundak jamaah di depannya. Orang-orang yang berada di pinggir menjaga mereka yang di dalam barisan. Barisan ini sangat solid dan kuat, sulit untuk diterobos. Jika ada orang dari luar rombongan yang ingin keluar dari kerumunan, dan kebetulan berhadapan dengan barisan ini, biasanya mereka akan menunggu hingga rombongan lewat.

Bukan karena tidak mau memberi jalan, tetapi karena memberi jalan berarti melepas pegangan, dan itu sangat berisiko. Melepas satu tangan bisa membuat rombongan terpecah, dan ketika ini terjadi, terutama bagi jamaah lansia, sangat membingungkan. Mereka bisa kesasar atau kehilangan arah setelah tawaf—dan mencari seseorang di antara ribuan orang lainnya bukanlah hal mudah.

Bagaimanapun seragam-seragam ini, pada akhirnya, bukan hanya simbol kebersamaan, tetapi juga berdampak secara ekonomi.

Pembuatan seragam tentu membutuhkan kain, desain, dan konveksi. Di sinilah banyak UMKM turut mendapatkan berkah dari persiapan haji. Dari tukang jahit hingga produsen tas, dari pembuat slayer hingga penyablon topi, peci, semuanya ikut terlibat dalam rantai rezeki ini. Fenomena ini menunjukkan bagaimana ibadah yang bersifat spiritual juga memiliki sisi sosial dan ekonomi yang nyata.

Selain dipakai untuk ke masjid, ketika satu kloter dijadwalkan untuk city tour atau ziarah, seragam KBIH itu kembali dipakai.

Nah, bagi jamaah yang tidak tergabung dalam KBIH alias mandiri, tentu mereka bisa bebas memakai pakaian yang rapi dan sopan dengan model apa saja. Dan itulah yang terjadi pada kami, selaku jamaah haji mandiri.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

Pengembangan Organisasi

"Penajaman" Treasury Pada KPPN