Karunia air

-(Senin, 23 Juni 2025)-

Kenyataannya kami sudah berada di Madinah. Dari Makkah kami dibawa dengan menaiki bus yang disediakan oleh PPIH. Semua barang juga dibawa. Artinya, setelah dari Madinah, kami tak kembali ke Makkah. Sesudah 8–10 hari di Madinah, kami akan langsung kembali ke Tanah Air melalui bandara di Madinah.

Perjalanan darat dari Makkah sampai ke Madinah ditempuh sekitar 6–7 jam. Kami melewati jalan raya dengan kanan-kiri daerah seperti gurun pasir, kadang bertemu dengan bukit-bukit berbatu. Benar-benar tanah yang kering. Tapi kami bisa melihat unta-unta, dan juga—yang membuat saya terkejut—saya melihat beberapa monyet. Bagaimana mereka hidup di tengah daerah yang nampak kering begitu?

Barangkali itulah di antara keajaiban yang saya dapati di sini. Di daerah yang nampak hanya bebatuan dan pasir, dengan panas yang terik dan tak sekalipun ada hujan selama di sini, tapi sepertinya air bukan menjadi masalah. Di hotel-hotel, di Masjidil Haram, air sepertinya sangat melimpah. Dengan jumlah WC dan toilet di Harom yang begitu banyak, tak pernah kekurangan air untuk keperluan para jamaah.

Hal ini tentu menjadi pertanyaan tersendiri—dari mana datangnya air di tengah keterbatasan alam ini? Saat city tour, saya melihat di beberapa tempat terdapat tabung raksasa dari otoritas penyedia air. Barangkali itu semacam tandon atau cadangan air untuk suatu wilayah. Kabarnya negara ini telah memiliki teknologi canggih yang bisa mengubah air laut menjadi air yang bisa digunakan oleh masyarakat. Arab Saudi memang dikenal sebagai salah satu negara dengan instalasi desalinasi terbesar di dunia.

Selain itu, salah satu keajaiban lagi adalah air zamzam yang terus mengalir. Sumur yang telah bertahan ribuan tahun ini tetap memancarkan air tanpa henti, meski dikonsumsi oleh jutaan manusia dari berbagai penjuru dunia. Ia tak pernah kering. Sebuah keajaiban dan keberkahan yang nyata.

Hal yang sama juga kami temui di Madinah, terutama di Masjid Nabawi. Sepertinya air sudah dikelola dengan baik. Bahkan saya melihat lebih banyak pepohonan hijau di sini. Ketika saya amati beberapa tanaman di pinggir jalan, tampak bahwa tanaman-tanaman itu telah dilengkapi dengan semacam pipa atau keran untuk menyiram air bagi pohon-pohon tersebut. Tampaknya ada sistem irigasi modern yang tertanam di setiap titik hijau kota.

Saya yakin kota-kota di sini ingin lebih banyak ditanami pepohonan yang membuat suasana kota menjadi lebih hijau dan rindang. Tapi tentu saja, tantangan tanah dan air menjadi sesuatu yang mereka hadapi. Ini tentu saja membuat kita yang berada di negara dengan lahan yang subur, dengan hujan yang lebih banyak, dengan air yang tak perlu menyedot dan mengolah air laut, menjadi lebih bersyukur.

Yang tentu saja rasa syukur itu kita wujudkan dengan menjaga kelestarian alam dan terus menjaga pepohonan yang telah ada. Bahkan akan lebih baik, upaya menanam pohon itu agar terus dilakukan. Jika dibandingkan dengan negara Saudi ini, jauh lebih mudah menanam pohon di negara kita.

Bahkan anjuran menanam pohon ini pun telah disampaikan Rasul SAW. Yang intinya, meski akan terjadi kiamat, tetaplah untuk menanam pohon.

Sebagaimana sabda beliau:

“Jika kiamat terjadi sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit pohon kurma, maka jika ia mampu menanamnya sebelum kiamat itu terjadi, tanamlah.” (HR. Ahmad)

Sebuah pesan sederhana namun sangat dalam: bahwa menanam pohon, merawat kehidupan, tetap memiliki nilai bahkan di ujung waktu. Karena sesungguhnya, menanam adalah tanda syukur, dan air yang menyuburkannya adalah karunia yang harus dijaga.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

Pengembangan Organisasi

"Penajaman" Treasury Pada KPPN