Pelataran Ka'bah
-(Minggu, 15 Juni 2025)-
Sore itu, kami berangkat menuju Masjidil Haram dengan menaiki bus layanan gratis. Setelah puncak haji, pelataran Ka’bah kembali dibuka untuk jamaah, baik yang mengenakan pakaian ihram maupun tidak. Kami pun berniat menunaikan salat Maghrib dan Isya di pelataran Ka’bah.
Sesampainya di sana, sesuai rencana, dia masuk ke area khusus wanita untuk mencari tempat salat. Sementara itu, saya akan melakukan tawaf sunnah terlebih dahulu. Seperti biasa, tujuh gelang karet saya kenakan di tangan kiri sebagai penanda putaran.
Dari sudut Hajar Aswad, saya memulai tawaf di tengah padatnya jamaah. Jarum jam besar di tower gedung itu telah mendekati pukul tujuh malam—waktu Maghrib hampir tiba. Saat saya telah menyelesaikan dua putaran, saya menghentikan langkah di antara Hijr Ismail dan Rukun Yamani, lalu mulai membentuk shaf salat bersama para jamaah lain yang juga berhenti sejenak dari tawaf.
Sebagian jamaah tetap melanjutkan tawaf, namun lebih ke bagian pinggir pelataran karena area dekat dinding Ka’bah sudah dipenuhi barisan salat. Alhamdulillah, kami dapat menunaikan salat Maghrib berjamaah di pelataran Ka’bah itu.
Setelah Maghrib, saya melanjutkan tawaf hingga ketujuh gelang karet berpindah seluruhnya ke tangan kanan—tanda bahwa tawaf sunnah telah selesai. Saya pun melanjutkannya dengan salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, sebagaimana yang dianjurkan.
Usai salat, saya segera mencari dia di titik pertemuan yang telah disepakati sebelumnya. Tak lama menunggu, kami pun bertemu kembali. Namun, waktu Isya sudah semakin dekat, dan kami kembali mencari tempat salat masing-masing. Dia segera menuju barisan wanita, sementara saya mencari tempat di barisan pria.
Menjelang waktu Isya, petugas keamanan mulai mengatur posisi barisan salat. Jamaah pria diarahkan untuk membentuk shaf di dekat dinding Ka’bah, sedangkan jamaah wanita diarahkan ke sisi-sisi pelataran yang telah ditentukan untuk wanita.
Saya sempat melihat sekelompok jamaah Indonesia—terdiri dari pria dan wanita—yang sedang melaksanakan tawaf. Namun, mereka terpaksa berpisah karena aturan pemisahan jamaah—pria dan wanita—saat salat wajib tiba. Situasi ini tidak jarang menimbulkan kerepotan, terutama bagi kelompok yang ingin tetap bersama setelah salat.
Oleh karena itu, bagi jamaah yang ingin melakukan tawaf bersama dalam rombongan campuran, sebaiknya memilih waktu yang tidak berdekatan dengan waktu salat fardhu. Hal ini agar mereka tidak harus terpisah dan dapat melanjutkan ibadah bersama. Alternatif lain, mereka bisa memilih lokasi yang berdekatan—misalnya pria di depan dan wanita di belakang—namun sering kali area tersebut sudah penuh dan sulit untuk ditemukan tempat yang memadai.
Begitulah, dinamika ibadah di pelataran Ka’bah. Bagi jamaah yang baru pertama kali berhaji atau umrah, memahami ritme aktivitas di sekitar Ka’bah sangat penting—termasuk kapan waktu terbaik untuk tawaf, di mana posisi ideal untuk salat, dan bagaimana tetap terhubung dengan rombongan. Perencanaan yang matang akan sangat membantu menghindari kebingungan, terutama menjelang waktu-waktu salat fardhu.